#17 Broke Up

842 59 0
                                    

Mandy's Diary At Senior Grade

Entah mengapa, aku sangat suka melihat sebuah pesta pernikahan. Dari awal ketika Katy masuk dengan iringan piano sampai mengucapkan ikrar di depan pastur, aku tak bisa menahan untuk tidak tersenyum.

"Satu hal yang paling kutunggu-kutunggu di upacara pernikahan adalah," Justin berbisik di sebelah telingaku, membuatku menoleh ke arahnya. "Saat pasangan pengantin saling berciuman di depan umum."

Praktis, aku mencubit pahanya hingga membuatnya meringis pelan. Aku memelototkan mataku, di lain sisi menahan tawa mendengar perkataannya baru saja.

"Kalau aku..." Aku mengembalikan lagi perhatianku pada Peter yang menyematkan cincin pernikahan di jari Katy. Lagi-lagi aku tersenyum kecil, "Saat mereka berdansa berdua. Entahlah, menurutku itu romantis."

Justin tidak lagi membalas, kecuali gelengan senyuman lebar melihat wajah berseri-seriku. Perhatian kami terpaku lagi pada kedua mempelai yang mulai berciuman di depan tamu undangan diikuti suara tepukan riuh. Aku ikut bertepuk tangan—sepertinya suara tepuk tangan yang paling keras di sini adalah suara tepuk tanganku.

Acara dilanjutkan dengan makan-makan bersama. Ada yang berdansa di tengah-tengah, ada yang menghabiskan cake, ada yang mengobrol sambil berdiri, dan lain sebagainya. Justin mengajakku ikut berdansa di dekat pasangan pengantin baru itu. Awalnya aku menolak karena takut terhadap tatapan horor Grandma Magdalena di meja khusus keluarga besar, tapi Justin bersikeras mengajakku terjun ke tempat dansa dan membantuku meletakkan tangan pada lehernya.

"Please, aku tidak mau dilihat banyak orang," bisikku begitu kakinya mulai digerakkan mengikuti irama musik.

"Aku tidak mendengarmu," balasnya menyebalkan. "Sekarang, ikuti saja gerakanku jika kau tidak mau bertambah malu hanya berdiam di tempat ini dan dilihat banyak orang." Dia mengangkat sebelah alisnya semakin membuatku kesal.

Bibirku mengerucut miring. Wajahku memerah mengikuti langkahnya. Beberapa kali aku menundukkan kepalaku, namun dia menekan daguku, memaksaku menatap ke arahnya. Aku tertawa kecil mendengar sedikit candaannya yang membuat kekakuanku seketika lenyap. Dia memang pandai memperlakukan kekasihnya semanis ini. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana menyenangkannya menjadi kekasih Justin, seperti Daissy atau mantan-mantannya yang lain.

***

Sumpah, suasana di sekitar pedesaan Benevento sangat menyegarkan. Pemandangan yang memanjakan mataku serba hijau. Aku merentangkan tanganku merasakan terpaan angin yang mengelus permukaan kulitku. Kutengadahkan wajahku ke atas, menghirup dalam-dalam udara segar memenuhi paru-paruku sambil berjalan menyusuri tepi sungai di dekat rumah keluarga Justin.

Mataku terbuka begitu merasakan ada yang menyentuh tanganku dari belakang, melipatnya di depan dadaku dan membawaku ke dalam pelukannya. Aku menoleh ke belakang dengan rambut yang sedikit berkibar ditiup angin. Ini baru yang dinamakan weekend. Rasanya aku tidak mau kembali ke Long Beach, lebih betah berlama-lama di sini menikmati udara bersih Benevento.

Eh tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku akan bertemu nenek sihir itu sesering mungkin. Ew, no.

Kami melanjutkan petualangan kecil kami mengikuti garis sungai yang memanjang sambil berbincang-bincang kecil. Membayangkan hal yang sebenarnya, well, cukup dini untuk anak SMA tingkat akhir seperti kami.

"Aku menginginkan pesta kebun," kataku melengkapi keinginannya, angan-angannya tentang bagaimana bentuk pesta pernikahan impian kami.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Where stories live. Discover now