#3 Wedding Day

1.5K 76 0
                                    

Mandy's Diary at 17th y.o

Tidak. Aku tidak akan menghadiri pesta ulang tahun Rebekah Holt. Sudah Pasti ada rencana di balik undangan yang sedang berada di tanganku saat ini. Rasa-rasanya, tiap melihat pada barisan kalimat yang tertulis rapi dengan iluminasi memenuhi kertas ini membuatku seperti mendapatkan kartu hukuman dari kerajaan untuk hukuman mati.

Sebenarnya bukan hanya khawatir cewek pirang sialan itu menjahiliku sampai titik darah penghabisan, melainkan takut bertemu dengan Justin. Justin? Sejenis nama apakah itu? Bahkan aku tak sanggup menyebut namanya. Jatuh cinta pada seseorang yang bahkan tidak mengetahui keberadaanku di dunia ini sungguh menyiksa. Sudah kukatakan, dunia sangatlah kejam. Aku dihempaskan kasar dan dipisah oleh dinding realita. Sungguh menyedihkan. Sampai kapan pun aku tak akan pernah mendapatkan seseorang seperti Justin. Cowok superstar sekolah sejak di sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Dan selama itu, dia benar-benar tidak mengetahui bahwa aku hidup.

"Aku mau kau datang!" Candice merajuk, merebahkan tubuhnya di atas ranjangku ketika aku masih bertekur dengan undangan di tanganku bagaikan orang autis yang mencoba memahami satu kata.

Bola mataku terputar ke atas, lantas berhenti pada Candice yang menggosok kuku-kukunya yang dipoles kuteks pink. "Please... dia pasti mengerjaiku habis-habisan, Candice. Ini hanyalah salah satu rencana tololnya untuk mempermalukanku. Yang ke seratus bla bla bla kalinya dalam dua tahun terakhir ini." Aku meniup poniku ke atas secara dramatis. "Aku tidak percaya kita masih hidup sampai di kelas sophomore setelah sekian ratus kalinya menderita di bawah kaki Rebekah dan April."

"Coba masuk anggota pemandu sorak." Tubuh Candice diangkat lagi. Dia menyilangkan kakinya tanpa mengalihkan pandangannya dariku. "Kalau kau masuk, kau akan jadi cewek populer."

Aku tertawa sarkastis. Lebih tepatnya, tertawa hiperbolis. "Cewek populer hanyalah mitos." Kulempar sembarang tempat undangan ulang tahun dari Rebekah. Kertas kecil itu melayang di udara, jatuh tepat ke dalam tong sampah bercampur dengan sampah-sampah kertas lainnya. Aku beranjak dari tempat duduk di depan meja rias, lalu menjatuhkan punggungku di samping Candice. "Lagipula kalau aku jadi populer, kau tidak akan punya sahabat lagi, Candice. Bersyukurlah aku tidak populer."

Candice mencebikkan bibirnya, tampak sependapat dengan perkataanku. "Benar juga..." Dia ikut merebahkan tubuhnya di sampingku. Kami saling bertukar pandang selama beberapa detik, mengamati warna iris mata kami yang tak seragam. Jika milikku adalah coklat almond, milik Candice adalah abu-abu seperti mata Angus, kucingku. "Ada baiknya juga kau jadi kuper," tambahnya.

Aku mendesah pelan. Dia bahkan tidak perlu memikirkan kata lain yang lebih halus daripada kuper. "Aku menganggap seluruh cewek populer itu tidak nyata. Hanya imajinasi. Some of imaginary fake girl bitches."

Memang kenyataannya begitu kok. Seperti Rebekah, misalnya. Bahkan bukan hanya aku. Justin sering menyebutnya palsu. Bukan hanya Rebekah, April Jansen pun juga. Dia bolak-balik membedah plastik hidungnya sampai membuat hidung itu lebih mirip hidung babi. Mereka berdua ratunya di SMA kami. Ratu homecoming, prom, Spring Flying, dan segala jenis balls lainnya.

Syukurlah Justin bahkan tidak tertarik pada dua gadis palsu itu. Aku tidak tahu tipikal gadis idaman seperti apa yang disukai Justin. Yang kutahu, dia benci cewek palsu.

Setidaknya aku bukanlah cewek palsu. Meskipun ukuran lingkar pinggangku lebih lebar daripada lapangan basket, dada rata, dan tidak secantik Britney Spears. Malaikat di pundakku berkata bahwa masih ada satu dari seribu kemungkinan untuk mendapatkan Justin.

Confession Of Drama Queen (by Loveyta Chen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang