20

21.1K 1.4K 20
                                    

Malam nya Cia kembali datang ke lapangan. Suara musik orgen tunggal memekak gendang telinga dan membuat jantung berdentum kencang.

Cia turun dari motor Nmax bersama Dewi. Cia memakai kaos santai dilapisi jaket di padukan dengan rok jeans selutut yang menampakkan betis nya.

Ia hanya ingin melihat acara lelang panggang ayam dan membeli nya lalu pulang.

" Ini semua yang datang penduduk kampung di sini?" Cia menatap Dewi dan lapangan yang ramai oleh lautan manusia.

" Nggak semuanya, Mbak. Ada juga dari kampung sebelah. Bahkan yang dari kota juga ada."

" Oh ya? Pantesan sesak banget kayak nya di sini."

" Mbak acara lelang nya belum mulai deh. Kita ke stand Buk Min dulu atau bagaimana Mbak?"

" Kita ke Stand Buk Min ajalah. Cuma di sana yang saya kenal. Takut sesat saya di sini, Wi."

Dewi terkekeh mendengar ucapan Cia.

" Selamat malam Buk Min."
Sapa Cia ramah dan lembut.

" Eh, Non Cia. Beneran datang. Sini sini duduk sini, Non."

Cia masuk ke dalam stand bersama Dewi. Di stand Buk Min ada beberapa para gadis yang duduk berlingkar sembari menatap kedatangan Cia. Mereka asyik berbisik-bisik.

" Belum mulai ya acara lelang nya Buk?"

" Belum, Non. Mungkin sebentar lagi. Pak lurah nya mungkin belum datang. Beliau kan harus memberi kata sambutan."

" Oh begitu. Jualan nya sudah habis Buk?"

Buk Min tersenyum lebar sehingga mata nya tampak menyipit.

" Alhamdulillah, Non. Jualan saya ludes berkat Non Cia. Kalau Non tidak men traktir ibuk-ibuk tadi mungkin saya masih jualan sampai sekarang, Non."

" Ah itu rezeki nya Buk Mimin. Saya mah cuma membantu sedikit."

" Non Cia jangan merendah gitu. Fakta nya memang begitu kok." Cia tertawa kecil melihat wajah Buk Min yang ekspresif.

" Kenapa, Wi?" Tanya Cia saat sadar Dewi yang tidak bisa hidup tenang.

" Saya mau labrak para gadis di belakang itu yang membicarakan Mbak."

" Sudah. Nggak usah di pedulikan. Biarkan saja." Ujar Cia pelan.

" Tapi, Mbak,"

Cia menggeleng. Dewi terang-terangan menatap para gadis yang sedang berbisik tersebut dengan terang-terangan.

" Heh kalian ini ngapain to. Bisik-bisik begitu?" Seperti nya Buk Min juga dengar apa yang mereka bicarakan.

" Apa Buk Min. Kami nggak ada bisik-bisik kok."

" Saya dengar kalian barusan nyebut nama Non Cia." Tegur Buk Min kesal

Tiba-tiba Sinta datang dan masuk ke dalam stand Buk Min. Mata nya langsung bertatapan dengan Cia.

" Ngapain kamu di sini?" Sinta langsung menyapa Cia dengan wajah judes nya.

" Ada larangan saya ke sini?"

" Orang kota macam kamu ini tidak pantas ke sini. Lihat saja nih penampilan kamu. Tidak pantas sama sekali. Apa apa an itu betis terbuka seperti itu. Sengaja mau ngundang mata para lelaki di sini kamu? Tapi nggak aneh sih orang macam kamu suka begitu."

"Eh Sinta maksud kamu apaan ngomong begitu?" Dewi langsung memasang badan.

Sinta melotot. " Kamu bilang apa barusan? Aku ini lebih tua ya dari kamu. Masih bocah nggak tau sopan santun sembarangan manggil nama orang. Nggak di ajarin kamu sama orang tua kamu itu?" Sinta balik menghardik Dewi.

" Jangan bawa-bawa orang tuaku. Manusia macam kau ini memang tak pantas lah di hargai."

Sinta menjambak rambut Dewi. Sedangkan Cia dan Buk Min berusaha melerai.

Para gadis di belakang mereka tampak semangat memprovokasi.

" Sudah. Sudah kalian ini apa-apa an sih. Sinta!" Buk Min dan Cia berhasil melerai kedua nya.

Wajah mereka nampak merah dan saling menatap benci. Nafas nya saling memburu.

Sinta menyentak pegangan Buk Min. " Buk Min harus nya marahin perempuan berdua ini. Bukan malah membela mereka."

" Yang salah itu kamu di sini. Datang-datang langsung menyerang."

" Buk Min nggak tau kan kalau perempuan ini nggak betul."

" Maksud kamu apa an sih Sinta. Jangan memfitnah begitu. Malu di lihatin sama orang nanti. Di sini ramai. Lihat keadaan kamu."

" Saya itu jujur Buk Min. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri kalau perempuan ini berduaan sama Bang Jangkar di kebun. Untung saya cepat datang."

" Kamu cemburu?" Cia tiba-tiba menatap remeh Sinta.

" Jelas saja saya cemburu. Kamu nggak ingat perkataan saya kemarin?"

Sinta menunjuk Cia dengan marah.

" Sudah. Sinta kamu mending pergi deh dari sini. Saya nggak mau warung saya ini tempat orang berkelahi." Ujar Buk Min marah.

" Kalian juga!" Hardik Buk Min kepada para gadis tersebut.

" Buk Min masih membela mereka. Buk Min kenal saya lebih lama di banding perempuan baru datang ke kampung ini. Harus nya Buk Min mengusir mereka bukan saya."

" Justru karena saya kenal kamu lebih lama saya melakukan ini."

Sinta menatap Buk Min marah. Ia menatap Sinta dan Dewi bergantian.

" Awas kamu!" Ancam Sinta kepada Cia. Ia sengaja menyenggol bahu Cia saat keluar dari stand Buk Min.

" Gila itu orang!" Semprot Dewi menatap punggung Sinta.

" Kamu nggak papa, Wi. Lihat rambut kamu berantakan begini jadi nya." Ucap Cia merasa bersalah.

" Kamu harus nya nggak perlu nanggapin omongan nya si Sinta itu, Wi. Itu anak memang nggak pernah berubah." Ujar Buk Min.

" Sakit aja telinga ku dengar nya Buk Min. Apalagi udah menghina Mbak Cia. Nggak terima aja aku."

Cia terharu mendengar perkataan Dewi. Ternyata masih ada juga orang yang begitu memperhatikan nya.

" Terima kasih Wi. Saya sangat senang sekali ternyata kamu perhatian sama Saya. Tapi, saya juga nggak mau kamu kenapa-napa karena saya, Wi."

" Aduh, Mbak. Si Sinta itu nggak bisa di lembutin mbak. Tanya aja sama Buk Min tuh. Dia itu sudah masuk kategori gila dan terobsesi sekali ingin memiliki Bang Jangkar."

" Memang iya?"

" Lah si Mbak nya nggak percaya."

" Benar apa yang di bilang si Dewi, Non. Non harus hati-hati ya!"

Cia mengangguk.

" Eh kayak nya acara udah mau mulai tuh. Kita mendekat ke panggung aja. Biar nggak desakan nanti," Ajak Buk Min.

Cia pun mengikuti Dewi dan Buk Min mendekat ke panggung dan memperhatikan acara yang berlangsung.

Ia tidak sadar kalau sejak tadi dirinya menjadi perhatian di tengah lapangan ini.

Tbc!
20/02/24

Jangkar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang