29

19.9K 1.3K 28
                                    

Di karyakarsa udah update bab 62 yaaa gaess


Para Warga di buat terkejut pagi ini. Berita pernikahan antara Jangkar dan Cia menyeruak ke permukaan bagai belerang muncul ke permukaan danau.

Para warga di buat tercengang karena tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba Jangkar dan Cia sudah di nyatakan sah sebagai suami istri.

"Ini berita benar-benar asli nggak? Jangan mengumbar berita yang nggak ada kebenaran nya."

"Benar. Tanya aja sama si Penti kalau tidak percaya."

"Benar begitu Penti? Kamu dapat berita dari mana?" tanya Mak Iroh.

"Aduh, Saya dapat kabar dari Enda. Dia kan kerja di kantor KUA."

"Tapi saya juga dengar berita kalau Bang Jangkar dan Non Cia menikah karena kecelakaan gitu, Mak."

"Kecelakaan apa sih. Yang jelas kalau ngomong."

"Itu Mak. Tekdung."

Mak Iroh langsung memukul bahu Penti.

"Jangan asal ngomong kamu ya. Jatuh nya fitnah nanti. Nggak mungkin lah Bang Jangkar dan Non Cia begituan."

"Terus apa dong, Mak. Non Cia itu saja baru datang ke kampung kita. Belum beberapa bulan sudah mau nikah saja. Si Sinta aja yang tiap hari mengejar Bang Jangkar nggak di ladeni tuh."

"Ya mana tahu mereka sudah lama saling kenal. Kalian itu nggak lupa kan kalau Bang Jangkar dulu sekolah tinggi di Bandung. Mana tahu mereka sudah kenal di sana." ujar Mak Iroh.

Penti, Suma, dan dua orang lain nya mengangguk. "Iya juga ya."

"Kasihan juga saya sama si Sinta."

"Ya mau bagaimana lagi. Wong Bang Jangkar nya tidak suka sama si Sinta itu. Walaupun itu anak cantik tetap saja perangai nya minta ampun. Sifat pemaksa nya itu loh. Saya kalau punya anak Laki-laki juga mikir-mikir dulu kalau mau ambil Sinta jadi mantu."

"Hush Jangan ngomong begitu. Nanti terdengar sama orang. Di kampung ini signal nya kenceng. Rumput ini aja punya telinga."

"Hehe.., iya Mak."

Sedangkan di dalam rumah terdengar teriakan histeris dari Sinta. Ia mengamuk begitu mendengar berita pernikahan Jangkar dan Cia. Ia kecolongan. Ia tidak menyangka kalau Jangkar dan Cia akan menikah.

"Aaahhhhh....,brengsek kalian. Sial!"

Sinta menghamburkan semua peralatan make up nya. Ia mengacak isi kamar nya melampiaskan rasa sakit hati nya saat ini.

"Hiiks....hiks..kenapa?? Kenapa seperti ini. Aku yang harus nya menjadi istri Bang Jangkar. Bukan perempuan gatal itu. Aku tidak bisa terima. Tidakkkk!!!!!"

Sinta menangis histeris. Di luar Wanti menatap cemas pintu kamar anak nya.

"Sinta. Buka pintu nya dulu Nak. Jangan begini, Nak. Istighfar!"

Wanti mengetuk pintu sinta berulang kali. Namun Sinta tidak peduli.

Hati Wanti sedih mendengar suara tangisan anak nya yang menyayat hati.

"Awas, Buk! Biar Bapak coba buka."

Herman mengayunkan kapak ke gagang pintu kamar Sinta. Wanti berjarak sedikit.

Brakkkk!

Pintu kamar terbuka. Wanti dan Herman tercengang melihat kondisi kamar Sinta yang sudah seperti kapal pecah. Alas kasur sudah tidak berada di tempat nya. Bantal dan guling berserakan. Peralatan make up yang sudah berhamburan.

Wanti mencari Sinta yang ternyata duduk di sudut ranjang meringkuk.

Wanti segera mendekati anak nya.

"Sinta," panggil Wanti lembut. Ia sakit melihat kondisi anak nya. Wanti mengusap rambut Sinta.

"Ibuk. Hiks!"

Wanti segera memeluk tubuh bergetar Sinta dengan lembut Herman terdiam menatap nanar anak nya. Ia keluar karena tidak tahan mendengar suara tangis Sinta.

"Ibu kenapa Bang Jangkar tega sama aku, Buk? Kenapa Bang Jangkar tega menyakiti aku sampai begini? Kenapa harus perempuan itu yang menjadi istri Bang Jangkar? Kenapa??? Aku, Buk! Aku yang harus nya menjadi istri Bang Jangkar."

Pipi Sinta sudah basah berurai air mata. Rambut nya acak-acakan. Hati Wanti sebagai seorang Ibu sangat sakit melihat kondisi anak nya.

"Sudah, Nak. Sudah. Ikhlaskan! Biar kan mereka."

Sinta berontak. Ia melepas pelukan Ibu nya.

"Nggak. Aku nggak bisa! Bang Jangkar harus jadi milikku Buk. Aku nggak ikhlas. Sampai mati pun aku tidak ikhlas!"

Sinta kembali meraung dan menangis menyayat hati.

"Istighfar Nak. Itu pertanda kalau Bang Jangkar bukan jodoh kamu. Allah sedang menyiapkan jodoh yang terbaik untuk kamu Sintam sadar Nak!"

Sinta menggeleng. Ia tidak terima. Hati nya mengeras bahwa Bang Jangkar harus jadi milik nya.

"Ini semua gara-gara perempuan gatal itu Buk. Dia merebut Bang Jangkar dari aku. Dia, perempuan gatal tidak tahu diri itu. Ini salah perempuan itu, Buk."

Wanti menggeleng iba. "Sinta sadar Nak. Sedari awal Bang Jangkar itu bukan milik siapa-siapa. Sudah cukup kamu mendambakan Bang Jangkar itu, Nak. Dia sudah banyak membantu kita. Jangan begini, Nak. Istighfar!"

Wanti terpekik tiba-tiba Sinta sudah pingsan.

"BAPAK! TOLONG, PAK!"

Wanti memangku tubuh Sinta.

"Kenapa, Buk?" Herman datang dengan wajah panik.

"Sinta pingsan, Pak. Anak kita--," Wanti menangis. Herman segera memindahkan anak nya ke atas kasur.

Herman berusah tampak tenang di saat keadaan anak nya tidak sadar.

"Tenang, Buk. Tenang! Ambil minyak kayu putih!"

Wanti segera mencari minyak kayu putih. Herman mengusap rambut anak nya dengan kasihan.

Perkara hati memang tidak pernah mudah jika tidak bisa mengendalikan nya. Ini yang di takutkan Herman terhadap anak nya.

Rasa yang di miliki anak nya tidak berbalas membuat sang Anak di landa kesedihan yang mendalam. Apalagi berita yang menyebar kuas tentang pernikahan Jangkar dan cucu Pak Darma yang terkenal kaya raya. Jelas bukan tandingan kekuarga nya yang hidup saja pas-pas an.

Herman menghembuskan nafas nya. Dada nya ikut sesak. Namun ini semua harus mereka terima. Mungkin memang beginilah jalan hidup anak nya. Tidak di takdirkan bersama Jangkar. Herman berharap semoga ada hikmah yang bisa di petik dari kejadian ini.

Tbc!

05/03/24

Jangkar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang