26

22.3K 1.4K 58
                                    

Jangkar dan Cia sedang berhenti untuk beristirahat sejenak di temani minuman dingin yang sempat di beli Jangkar di jalan.

"Bang Jangkar."
Panggil Cia menatap Jangkar.

"Hm. Kenapa?"

"Bang Jangkar merasa nggak kalau kita tuh ngomong nya formal sekali. Pake saya-saya an. Kan kita sekarang sudah pacaran," ujar Cia pelan.

Jangkar tersenyum. Ia mengangguk.

"Kita baru pacaran nya kemaren lho."

"Ya saya tahu. Tapi ngomong seperti ini nggak enak denger nya sama pacar sendiri. Berasa ngomong sama orang lain. Nggak ada romantis nya." Cia cemberut.

Jangkar menyerong menghadap Cia. "Jadi, yang romantis itu seperti apa?"

Cia merasa Jangkar seperti tengah menggoda nya. Lihat saja senyum Jangkar tidak seperti biasa nya.

"Ah tau ah. Bang Jangkar ini di ajak ngomong serius nggak bisa." Cia mengalihkan pandangan nya ke depan. Ke hamparan kebun teh sepanjang mata memandang.

Jangkar terkekeh kecil. "Oke. Sekarang kita serius."

"Jadi mau nya gimana. Mau di panggil apa, hm?" tanya Jangkar lembut.

Cia menggigit bibir bagian dalam nya melihat tatapan lembut Jangkar.

"Ya panggil nama aja."

"Serius? Nggak mau di panggil seperti panggilan pasangan-pasangan di luar sana?  Sayang misal nya?"

Blush

Tidak tertolong. Wajah Cia langsung merah. Jangkar mengulum senyum.

"Ya itu boleh lah. Siapa juga yang nggak mau kan," jawab Cia cepat. Jangkar tertawa.

"Kan Bang Jangkar tidak serius." Cia mulai ngambek.

"Sini lihat saya,---,"

"No. Abang. Panggil Abang." ujar Cia menyela. Jangkar tersenyum lagi. Ia mengangguk. Jangkar menggenggam tangan halus milik Cia.

"Abang serius sayang."

Deg deg

Ada yang berdegup kencang. Cia menunduk menyembunyikan wajah nya.

"Lihat Abang! Mulai dari sekarang Abang akan panggil Ara. Karena di sini orang sudah banyak manggil Cia. Jadi, Abang mau beda." Tatapan mereka bertemu.

"Untuk Panggilan sayang. Itu hanya saat kita berdua. Seperti sekarang ini. Karena Abang sedikit tidak terbiasa. Nanti kalau kita sudah menikah. Setiap saat akan Abang sematkan panggilan sayang untuk istri Abang ini."

Ya Tuhan! Cia tidak mampu lagi untuk berkata-kata. Kenapa kedengaran nya sangat romantis sekali. Hati Cia sangat terharu. Cia hanya bisa mengangguk. Tidak mampu untuk sekedar mengucap kata 'iya'.

"Jadi sekarang panggil nya Ara kalau lagi sama Abang ya!"

Cia lagi-lagi mengangguk. Ia sangat bahagia hari ini.

"Abang," bisik Cia pelan.

"Hm?"

"Ara malu dan terharu."

Jangkar tertawa. Sungguh melihat Cia yang sekarang sangat menggemaskan.

"Tidak perlu malu. Bahagia ini milik kita berdua," sahut Jangkar mengusap rambut halus Cia.

****

Jangkar membawa Cia ke kebun teh. Di sana mereka tidak sengaja bertemu dengan Sinta dan teman-teman nya.

Saat melihat Cia sendirian. Sinta langsung menghampiri Cia.

"Eh, Perempuan gatal." Tubuh Cia langsung terdorong ke belakang karena sentakan Sinta yang lumayan kuat.

"Apa-apa an kamu. Datang langsung marah-marah nggak jelas," sembur Cia kesal.

Sinta menunjuk wajah Cia.

"Harus nya saya di sini yang marah. Kamu ngapain di sini bersama Bang Jangkar hah? Kalian ada hubungan apa?"

Sinta menatao benci ke arah Cia. "Bukan urusan kamu. Jika pun kami ada hubungan, kamu mau apa?" balas Cia berani dan menantang balik.

Sinta tampak geram. "Kurang ajar sekali kamu ya. Sudah berapa kali saya katakan kalau Bang Jangkar itu punya saya. Bang Jangkar itu tunangan saya. Kamu lupa hah?"

Deg

Cia terdiam. Ia kenapa bisa sampai lupa. Harus nya ia menanyakan perihal ini kepada Jangkar. Bukan malah menerima Jangkar menjadi kekasih nya.

"Kenapa? Lupa kamu? Nggak salah kan kalau kamu itu pantas di sebut perempuan gatal. Kamu itu berani-berani nya mendekati Bang Jangkar. Kamu tidak tahu berhadapan dengan siapa."

"Kalau memang Bang Jangkar tunangan kamu. Kenapa sampai sekarang kamu tidak juga di nikahi?"

Sinta semakin berang. "Sialan!"

Sinta langsung menjambak rambut Ciam mereka terlibat aksi pertengkaran. Tidak ada yang berani melerai. Teman-teman Sinta bahkan asyik menonton drama di depan mereka.

Cia tidak mau kalah. Ia balik menjambak rambut Sinta. Cia juga mendorong badan Sinta hingga lepas dan terjatuh.

"Aaw." Sinta mengaduh. " Sialan. Berani nya kamu mendorong saya perempuan gatal." Sinta langsung bangkit dan hendak menampar Cia. Namun tangan nya berhenti di udara saat ada yang menahan nya.

"Bang Jangkar." Sinta berbisik lirih.

Jangkar menatap tajam Sinta dan menghempaskan tangan Sinta.

"Bang Jangkar tolong saya, Bang." Sinta tiba-tiba menangis dan merasa seolah tersakiti.

"Apa yang kamu lakukan?"

Sinta menunjuk Cia. "Bukan saya Bang. Tapi, perempuan ini. Dia tiba-tiba menjambak rambut saya."

Cia berdecih melihat drama yang di perankan Sinta. Cia merapikan rambut nya selagi Sinta mengadu kepada Jangkar.

"Benar begitu?"

Jangkar menatap Cia. Sadar sedang di perhatikan. Cia mendongak.

"Menurut Abang?"

Jangkar mendesah. "Tidak usah berlagak seolah merasa tersakiti. Saya tahu di sini kamu yang salah. Ciara tidak akan memulai jika tidak ada sebab yang kamu berikan. Sekarang jujur apa yang kamu lakukan kepada Ciara?"

Sinta melotot. Ia tidak terima. "Bang Jangkar membela perempuan ini di bandingkan saya?"

"Jelas saya akan membela nya."

Sinta menatap Cia dengan kebencian yang membara.

"Ya. Di sini saya yang bersalah. Bang Jangkar tidak pernah membela saya. Bang Jangkar bahkan membela perempuan yang baru datang ke kampung kita ini di bandingkan kita yang sudah lama saling mengenal. Saya sangat kecewa kepada Bang Jangkar. Salah saya apa sama Bang Jangkar? Kenapa Bang Jangkar malah membawa perempuan itu ke sini? Kenapa bukan saya? Kenapa?" teriak Sinta berurai air mata.

"Bang Jangkar tahu kalau saya sangat menyukai dan mencintai Bang jangkar. Bahkan orang sekampung pun tahu. Tapi, kenapa Bang Jangkar tidak pernah melihat saya? Kenapa Bang? Apa yang kurang dari saya? Apa kelebihan perempuan ini? Apa karena dia banyak uang dan saya miskin?"

Jangkar memejamkan mata nya. Ia tidak suka berada dalam situasi seperti ini. Jangkar memperhatikan Sekeliling nya. Untung saja tempat mereka sekarang sepi dan tidak jadi tontonan gratis bagi penikmat drama picisan ini.

Cia menatap sedih Sinta. Sebagai perempuan ia bisa memahami perasaan Sinta.

Suara tangisan Sinta semakin keras terdengar.

"Ayo kita pergi dari sini!" Jangkar menggenggam tangan Cia dan menarik nya menjauh dari sana.

Sinta meraung dan mengumpat. Ia memanggil Jangkar dengan suara penuh kesedihan. Namun, Jangkar tetap berjalan tidak menengok ke belakang.

Cia menengok ke belakang dan melihat Sinta seperti orang gila menangis histeris yang langsung di tenangkan oleh teman-teman nya.

Tbc!

29/02/24

Jangkar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang