47

12.4K 929 14
                                    

Cia menggerakkan jemari nya dan pelan-pelan membuka mata. Cia menyesuaikan penglihatan nya.

Jangkar baru saja dari kamar mandi. Begitu masuk ke dalam ruangan ia kaget melihat Cia sudah sadar.

"Sayang," Jangkar segera mendekat. Ia langsung menunduk dan mengusap wajah Cia.

"A..abang," ujar Cia lembut dan parau.

"Iya sayang. Abang di sini! Sayang mau apa? Mana yang sakit?" tanya Jangkar beruntun dengan wajah cemas dan lega yang bercampur satu.

"Haus!"

Jangkar segera mengambil air minum dan membantu Cia duduk.

Cia menghabiskan setengah isi gelas air minum. Jangkar menyusun bantal di kepala ranjang untuk sandaran Cia.

Jangkar menatap Cia dengan senyum lembut. "Abang bersyukur Sayang sudah sadar. Abang khawatir!"

Cia mengusap lembut pipi suami nya. "Ara nggak papa,"

Jangkar menggeleng. Ia mengecup lembut punggung tangan sang istri.

"Sayang pingsan di jalan. Dan Abang nggak ada di sana. Abang dapat informasi dari Zaki. Abang cemas dan panik takut terjadi apa-apa sama sayang. Abang takut."

"Sekarang Ara baik-baik saja. Jadi, Abang nggak perlu khawatir lagi ya." hibur Ara. Ia tidak mau membuat khawatir suami nya.

"Ara siapa yang bawa ke sini?"

"Mak Iroh sama Supra di bantu warga."

"Terus Mak Iroh nya mana, Bang? Ara mau ngucapin terima kasih."

"Mereka udah pulang. Nanti saja bilang makasih nya. Sekarang coba cerita apa yang sebenarnya terjadi."

Cia langsung terdiam dan pikiran nya kembali kepada kejadian bersama Sinta. Tiba-tiba kepala Cia langsung nyeri saat kilasan peristiwa itu terjadi.

"Kenapa sayang?" cemas Jangkar menatap Cia yang memegang kepala nya.

Cia menggeleng. "Nggak papa. Cuma nyeri sedikit aja."

"Abang panggilkan dokter ya!"

Cia segera menahan tangan Jangkar sembari menggeleng.

"Abang nggak perlu. Cuma nyeri sedikit aja."

Jangkar kembali duduk dengan helaan nafas lega nya. Ia sungguh khawatir terhadap istri nya.

Cia menatap Jangkar seakan menimbang apakah akan menceritakan kejadian yang sebenar nya.

Jika bukan kepada Jangkar kepada siapa lagi ia harus menceritakan sikap Sinta yang sudah keterlaluan bagi nya. Sinta harus di tegur tidak bisa di diamkan. Bisa saja nanti ia akan mengulang perbuatan nya bahkan lebih dari yang di dapat Cia hari ini

"Sayang," panggil Jangkar membuat lamunan Cia buyar.

"Ya,"

"Nggak papa. Kalau belum mau cerita. Yang penting Sayang pulih dulu,"

Cia balik menggenggam tangan Jangkar

"Ara akan cerita Abang. Tapi, nanti di rumah. Ara mau pulang."

"Oke. Abang ngomong dulu sama dokter nya ya. Mudah-mudahan bisa pulang hari ini."

Cia mengangguk. Jangkar pamit sebentar untuk menemui dokter yang memeriksa Cia. Tidak lama kemudian Jangkar kembali dengan senyum yang menghiasi wajah nya.

"Bagaimana Abang?"

Jangkar mengangguk. "Dokter memperbolehkan pulang karena memang nggak perlu rawat inap.  Cuma nanti tiga hari lagi kita di suruh ke sini lagi buat kontrol kaki nya,"

Cia mengangguk senang. Seorang perawat masuk mendorong kursi roda. Jangkar mengucapkan terima kasih. Jangkar langsung memindahkan Cia ke atas kursi roda.

"Makasih Abang,"

"Iya sayangku."

Jangkar mendorong kursi roda menuju pintu keluar. Ternyata ada Zaki di sana.

"Bang Jangkar," Zaki mendekat. "Non Cia, bagaimana keadaan nya?" tanya Zaki sopan.

"Saya baik-baik saja Zaki. Cuma lecet sedikit. Terima kasih atas bantuan nya ya," ucap Sinta tersenyum.

"Ah ya Non. Sama-sama." Zaki pun merasa malu sendiri. Jangkar tiba-tiba berdehem. Zaki seolah sadar dan salah tingkah. Ia mengusap tengkuk nya yang tidak gatal.

"Kamu bawa mobil nya kan?"

"Tentu saja, Bos. Ini kunci nya." Zaki menyerahkan kunci mobil kepada Jangkar.

"Kamu bawa motor saya pulang!"

"Siap Bos!"

Jangkar segera berlalu setelah menyerahkan kunci motor kepada Zaki. Begitu sampai dekat mobil dan membuka pintu penumpang, Jangkar langsung memindahkan tubuh Cia.

Jangkar naik ke bangku kemudi dan meninggalkan pelataran puskesmas.

****

"Sinta,"

Sinta terperanjat saat nama nya di panggil.

"Ya, Buk." Wanti masuk ke dalam kamar Sinta dengan wajah menahan amarah.

"Kamu dari mana hari ini dan bertemu dengan siapa?" tanya Wanti to the point.

Sinta meneguk ludah nya susah payah. Apa Ibu nya tahu. Tapi bagaimana bisa. Apa Zaki dan Supra memberitahu Ibu nya. Pikiran Sinta berkecamuk.

"Sinta, jawab Ibuk!" Hardik Wanti keras.

"Maksud Ibuk apa? Aku cuma pergi ke warung. Nggak kemana-mana." Jawab Sinta cepat.

"Kamu jangan bohong sama Ibuk. Lebih baik kamu jujur. Ibuk tidak punya anak yang suka bohong dan berperilaku buruk."

"Ibuk ini ngomong apa. Aku tidak paham."

"Kamu masih tidak paham? Di luar sana. Orang sekampung lagi ngomongin kamu. Sadar kamu? Mereka bilang kamu terlibat pertengkaran dengan Non Cia, istri nya Bang Jangkar. Dan  yang lebih membuat Ibuk terkejut kamu menganiaya Non Cia sehingga membuat nya masuk ke  puskesmas. Masih mau membela diri, hah?"

Sinta mengalihkan mata nya tidak mau menatap Wanti. Ia seperti gelisah.

"Mau di taruh dimana muka Ibuk dan Bapak Sinta. Kenapa kamu tega berbuat seperti ini kepada kami. Kamu nggak pernah memikirkan Ibuk dan Bapak. Bagaimana kita akan menghadapi orang-orang di kampung ini yang selalu membicarakan kamu. Bagaimana kalau Bang Jangkar tidak tinggal diam atas perbuatan kamu kepada istri nya. Kamu tidak pikir kan itu hah? Ya Allah Sinta kenapa kamu bisa begini!" Wanti sampai tidak tahu harus mengucapkan apa lagi.

"Ibuk tenang aja. Lagian wanita murahan itu tidak mati kan. Dia masih hidup."

"SINTA!" pekik Wanti benar-benar marah. Aura nya berubah.

"Apa buk? Memang seharus nya wanita murahan itu mati saja. Gara-gara dia, Aku begini Buk. Gara-gara dia Bang Jangkar lebih memilih nya di banding kan aku yang udah lama menyukai Bang Jangkar. Perempuan itu merebut semua nya, Buk." balas Sinta meninggikan suara nya.

"Ibuk harus nya membela aku bukan membela perempuan itu. Aku anak ibuk!"

Wanti menatap anak nya dengan perasaan ngilu.

"Karena kamu anak Ibuk, maka nya Ibuk seperti ini. Perbuatan kamu itu sudah salah Sinta, kenapa kamu tidak bisa menerima dan mencoba mengikhlaskan, Nak. Apa yang harus Ibuk katakan sama Bapak. Kamu tidak memikirkan sampai kesana Nak? Kamu tidak kasihan sama Ibuk dan Bapak?"

Sinta terdiam. "Tunggu Bapak pulang. Nanti akan kita bicarakan lagi!"

Wanti segera keluar dari kamar Sinta. Ia sangat ketakutan sekarang. Banyak pikiran yang berkecamuk di kepala nya.

Sinta mengepalkan tangan marah dalam kamar nyam wajah nya berubah benci dan bengis.

"Sialan kamu wanita murahan," desis Sinta tajam.

Tbc!

30/03/24

Jangkar CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang