Bab 9

45.3K 4.1K 302
                                    

"Gam, nanti diobrolin baik-baik sama Mama," ucap Adam saat mobilnya sudah hampir sampai di rumah orang tuanya.

Gama hanya diam. Di dalam otaknya sudah banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan pada Mamanya. Ia cukup emosi saat mendengar penjelasan dari Kamil. Andai saja sepuluh tahun yang lalu Jenia tidak diusir oleh Mamanya, mungkin hal seperti ini tidak perlu terjadi. Kalaupun dulu ia tahu soal kehamilan Jenia, ia rela membatalkan keberangkatannya ke Amerika.

Sepuluh tahun ini Gama tidak pernah tahu kalau ia punya anak di dunia. Kalau tidak bertemu dengan Kamil, mungkin ia tidak akan pernah tahu kenyataan ini. Sembilan tahun sudah ia melewatkan tumbuh kembang si kembar. Yang paling menyakitkan, si kembar tidak mengetahui kalau ia adalah Papi mereka. Si kembar mengira dirinya sudah meninggal dan selalu mendoakannya agar masuk surga.

Jantung Gama berdegup kencang saat mobil yang dikemudikan Adam mulai masuk area rumah orang tuanya. Terlihat satpam rumah membukakan gerbang agar mobil bisa masuk. Mobil belum diparkir dengan sempurna, tapi Gama langsung turun dan berlari masuk ke rumah.

"Gama!" teriak Adam yang berujung sia-sia. Ia segera menyusul Gama. Mengingat posisi parkirnya yang belum tepat, akhirnya ia menyerahkan kunci mobil pada Pak Ilyas, satpam rumah orang tuanya yang tadi membukakan gerbang. Begitu kakinya menginjak area ruang keluarga, ia melihat Gama sudah duduk di single sofa, dan belum ada tanda-tanda kehadiran Mamanya. "Mama mana?" tanyanya sambil duduk di sofa panjang.

"Masih dipanggilin sama Bibi," jawab Gama ketus.

Adam menghela napas keras. "Gam, nanya sama Mama jangan pakai emosi. Gimanapun itu Mama kita. Pasti Mama punya alasan tersendiri yang harus kita dengerin."

"Lho, kalian datang ke sini?" Muncul seorang wanita yang sudah berumur, tapi masih tetap terlihat cantik. Wanita itu mengenakan baju terusan dengan motif bunga-bunga kecil. "Harusnya kalian bilang kalo mau datang, biar Mama bisa siapin makanan buat kalian."

"Ma...."

"Wait, Mama bilang dulu ke Bibi biar masak. Mumpung masih jam segini. Satu atau dua masakan kayaknya masih bisa disiapin," sela Mama.

"Ma, duduk sini." Adam dengan sabar menarik tangan Mamanya agar duduk di dekatnya.

Mama melihat ekspresi wajah dari dua anaknya. "Kalian kenapa?" tanyanya cemas. Ekspresi wajah Gama dan Adam seperti sedang menahan amarah. Entah apa yang membuat kedua anaknya marah.

"Ada yang mau Gama omongin sama Mama," ucap Adam memberitahu.

Belum sempat Mama bertanya, sudah muncul pertanyaan dengan nada ketus dari mulut Gama.

"Sepuluh tahun yang lalu, setelah aku cerai sama Jenia, apa dia pernah datang ke sini dan ketemu sama Mama?"

"Sepuluh tahun yang lalu?" Mama mulai mencari-cari ingatannya. Begitu satu ingatan muncul, Mama sontak mengangguk cepat. "Setelah kamu berangkat ke bandara, satu jam kemudian Jenia datang ke sini," lanjutnya.

"Dan Mama nggak nanya alasan dia datang karena apa?"

"Mama nggak mau dia berubah pikiran dan bikin kamu gagal berangkat ke Amerika," jawab Mama. "Sudah banyak hal yang kamu persiapkan agar bisa berangkat ke Amerika. Mama nggak mau dengan kedatangan Jenia bikin kamu nggak jadi berangkat."

"Saat itu harusnya Mama nggak usir Jenia. Harusnya Mama bilang ke aku kalo Jenia datang nemuin Mama," teriak Gama frustrasi.

Mama sampai tersentak mendengar teriakan anaknya. "Kamu sebenarnya kenapa?" tanyanya khawatir.

Adam yang duduk di sebelah Mamanya, langsung memegang kedua tangan Mamanya. "Satu minggu yang lalu, Gama ikut aku buat nemenin anaknya Viola main di mall," ucapnya mulai menjelaskan.

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now