Bab 22

36.1K 3.2K 76
                                    

Jenia membuka matanya yang terasa berat. Ia merentangkan kedua tangannya, dan menguap lebar-lebar. Begitu matanya sudah terbuka sempurna, Jenia baru sadar kalau saat ini ia sedang tidur di sofa ruang tengah. Mungkin karena kemarin terlalu lelah, ia bahkan tidak sempat melangkahkan kaki untuk masuk ke kamar.

Begitu Jenia mengambil posisi duduk, betapa terkejutnya saat ia melihat sosok Gama yang tertidur tepat di bawahnya. Laki-laki itu tidur di lantai dengan beralaskan karpet bulu tebal. Posisi tidur tengkurap dengan wajah menghadap ke kanan. Untuk beberapa saat ia mengerjapkan mata, mencoba mengingat-ingat kejadian semalam.

"Mas, bangun." Jenia menggerak-gerakkan tubuh Gama menggunakan kakinya.

Belum ada tanda-tanda Gama akan bangun, Jenia mulai melemparkan batal sofa tepat di punggung Gama. Tak lama kemudian laki-laki itu tersentak bangun dan membalikkan badan.

Gama bangun dengan kondisi kebingungan. Ia melihat area sekitar dan menemukan dirinya sedang berbaring di lantai. Buru-buru ia bangun dari tidurnya dan mengangkat pandangannya. Di sana sudah ada Jenia yang memandanginya dengan berkacak pinggang.

"Ngapain tidur di rumahku?" tanya Jenia dengan nada suara tajam.

Gama tidak langsung menjawab. Ia berusaha untuk ikut duduk di sofa bersama Jenia, tapi kaki perempuan itu dengan cepat menendangnya. "Aku berasa lagi ngomong sama majikan kalo duduk di bawah, Jen," keluhnya sambil menggaruk perutnya.

Akhirnya Jenia tidak menghalangi lagi saat Gama hendak duduk di sebelahnya.

"Kemarin aku ngantuk banget dan minta ijin kamu buat tidur sebentar."

"Emang aku ngijinin?" sambar Jenia cepat.

Gama mengedikkan bahu. "Kamunya langsung tepar di sofa. Aku juga udah ngantuk banget. Akhirnya narik satu bantal sofa, terus tidur di bawah." Jenia sudah hendak memotong, tapi tangan Gama lebih dulu menangkup bibir Jenia. "Kita pulang udah jam setengah satu pagi. Aku ngantuk banget dan nggak kuat nyetir. Daripada ada apa-apa di jalan, aku pikir aku bisa tidur dulu satu atau dua jam sebelum pulang."

Jenia menepis tangan Gama di bibirnya. "Mas Gama tidurnya bukan satu atau dua jam, tapi udah berjam-jam!" serunya tertahan.

"Maaflah, aku kan juga nggak tau bakal tidur selama itu."

"Aku nggak enak sama tetangga. Gimana kalo mereka mikir aku cewek yang nggak benar gara-gara biarin cowok tidur di rumah?!" sentak Jenia kesal.

"Jadi, kalo nggak ada tetangga aku boleh bebas tidur di rumahmu?" tanya Gama yang sontak mendapat pukulan keras di wajahnya menggunakan bantal sofa. Pukulan itu sukses membuatnya mengadu kesakitan. Jenia menggunakan sekuat tenaga untuk memukulnya. "Lagian kita berdua nggak ngapa-ngapain. Aku tidur, kamu juga tidur," tambahnya sambil mengusap-usap wajahnya.

"Udah deh, Mas Gama pulang aja," ucap Jenia mengusir dengan mengibas-ngibaskan tangannya.

"Kamu nggak jemput si kembar di rumah orang tuaku?"

"Aku...."

"Ayo, bareng sama aku. Kita berangkat bareng ke rumah orang tuaku."

Jenia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku bawa mobil sendiri aja," tolaknya.

"Lho, kenapa?"

"Nanti Mas Gama repot kalo harus ngantar aku sama si kembar lagi. Mending aku bawa mobil sendiri."

Gama berdecak. "Jadi laki harus mau repot. Apalagi kalo lagi fase berjuang kayak aku gini."

Jenia mencibir. "Berarti kalo nggak lagi berjuang, nggak bakal mau direpotin?"

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now