Bab 19

35.7K 3.3K 97
                                    

Tanpa sadar Jenia tersenyum saat orang tua Gama datang dan langsung memeluk Alula secara bergantian. Anaknya itu hanya bisa pasrah dipeluk dan dicium oleh Oma dan Opanya. Sementara Mama sibuk menangis sambil memeluk Alula, Papa sudah berdiri bersandar di tembok, tepat di sampingnya.

"Makasih, Jenia," ucap Papa tiba-tiba.

Jenia menoleh. "Kenapa bilang makasih, Pa?"

"Makasih karena kamu sudah berbesar hati mau maafin keluarga kami. Pasti berat untuk kamu melakukan ini."

Jenia diam agak lama, karena sejujurnya ia bingung harus menanggapi seperti apa. Kemudian, ia berdeham pelan. "Setelah Mas Gama tau soal si kembar, Mas Gama selalu rajin transfer uang ke rekening Jen, Pa."

"Harus itu," sela Papa cepat. "Hampir sepuluh tahun dia nggak berperan di hidup Alula dan Aruna, sudah saatnya Gama terlibat di hidup mereka. Salah satu keharusannya adalah menafkahi Alula dan Aruna."

Jenia mengulum senyum. Selama hidupnya, ia tidak pernah merasa kekurangan dari segi ekonomi karena ia bekerja keras untuk dirinya dan anak-anaknya. Kemunculan Gama di hidupnya sedikit mengubah hidup Jenia. Semula ia harus menanggung semua biaya Alula dan Aruna, kini tanggung jawab itu sudah berpindah tugas ke Gama.

"Kalo kamu butuh apa-apa, boleh langsung bilang ke Gama. Atau bisa juga ke Papa, sebisa mungkin Papa akan bantu kamu."

"Iya, Pa."

"Setelah Alula sembuh, sempatin main ke rumah, ya. Nanti kita makan malam bareng," pinta Papa dengan wajah penuh harap.

Jenia diam sebentar mendengar permintaan itu, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengangguk.

"Alula, kalo udah sembuh main ke rumah Oma mau, kan?" tanya Mama menatap cucunya.

Bukannya menjawab, Alula malah menatap Maminya.

Jenia mengambil duduk di tepi ranjang Alula. "Iya, nanti kalo udah sembuh kamu sama Aruna boleh main ke rumah Oma sama Opa," ucapnya membantu Alula memberi jawaban.

"Kamu suka nggak sama hadiah yang Oma kasih?"

Alula berpikir sejenak hadiah yang dimaksud oleh Omanya, lalu tiba-tiba teringat kalau pernah mendapat satu kardus besar berisi banyak hadiah. Kala itu Aruna yang memberikan hadiah-hadiah itu padanya setelah kembarannya pulang dari rumah Oma dan Opa. "Aku suka. Makasih, Oma," ucapnya sambil menatap Oma. Kemudian ia beralih menatap Opa. "Makasih juga, Opa."

"Opa senang karena selain Papimu, ada kamu yang warna rambutnya kayak Opa," ucap Papa menatap rambut cucunya dengan perasaan penuh haru. 

"Tapi aku nggak suka," sela Alula membuat semua mata menatap ke arahnya.

"Kenapa?" tanya Mama mengusap puncak kepala cucunya.

"Aku kayak anak pungut karena warna rambutnya beda sendiri dari warna rambut Mami sama Aruna," ucap Alula dengan wajah polos.

Gama tidak bisa menahan senyum melihat ekspresi kaget Mami dan Papinya. Kalau dirinya sudah tidak kaget lagi dengan jawaban Alula yang cenderung ceplas-ceplos. "Sekarang kan udah nggak beda. Ada Papi sama Opa yang warna rambutnya sama kayak kamu."

"Iya sih...." Alula memilin jari-jarinya.

"Setelah kamu sembuh, gimana kalo jalan-jalan? Kamu sama Aruna boleh minta kemanapun yang kalian mau. Oma sama Opa bakal kabulin," ucap Mama antusias.

"Mau liburan ke luar kota atau ke luar negeri boleh. Pokoknya kamu sama Aruna tinggal sebut, biar nanti Opa langsung beli tiketnya," ucap Papa menyahuti.

"Cuma aku sama Aruna aja?" tanya Alula menatap Oma dan Opanya secara bergantian. "Mami sama Papi nggak diajak?" tanyanya lagi.

"Diajak kok. Nanti kita liburan keluarga sama-sama," jawab Mama menggenggam tangan cucunya yang bebas dari infus.

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now