Bab 31

29K 2.9K 99
                                    

Jenia terbangun karena merasakan tendangan di perutnya. Saat ia membuka mata, ternyata Aruna yang baru saja menendang perutnya. Begitu mengecek jam di layar ponselnya, ia segera bangun dari posisi tidurnya.

Posisi tidur Alula dan Aruna cukup membuatnya tersiksa sepanjang malam. Ia harus tidur paling ujung karena dua anaknya tidur memutari kasur. Entah ada tangan yang mampir di wajah Jenia, atau bahkan kaki yang ada di atas perutnya. Semua itu ulah kedua anaknya. Melihat si kembar masih tertidur lelap, ia memilih tidak membangunkan mereka.

Sebelum berjalan keluar kamar, Jenia mencuci muka dan menyikat giginya di kamar mandi. Niatnya untuk mandi ia tunda karena cuaca masih terlalu dingin. Saat membuka pintu, ia melihat ada Gama yang duduk di sofa sambil memegang sebuah cangkir.

"Kopi atau teh?" tanya Gama melihat Jenia berjalan ke arahnya.

"Kopi."

Dengan cekatan Gama menyeduhkan kopi untuk Jenia. Kemudian ia memberikan cangkir berisi kopi hangat untuk perempuan itu.

"Anak-anak masih tidur?"

Jenia memegang cangkir kopi dengan kedua tangannya. Ia meniup-niup uap yang keluar.

"Jen?" panggil Gama.

Jenia sontak menoleh. "Hah?"

"Anak-anak masih tidur?" tanya Gama mengulangi pertanyaannya.

"Iya," jawab Jenia singkat sebelum menyesap pelan kopinya. "Kayaknya mereka kecapekan karena kemarin renang malam-malam," lanjutnya.

"Jen, yang kemarin--"

"Kejadian kemarin nggak boleh terulang lagi," potong Jenia cepat.

"Emang siapa yang mau ngulangin?" Gama menaikkan sebelah alis, sambil menahan senyum.

Jenia menggerutu kesal.

Gama meletakkan cangkir di atas meja. Kemudian ia memiringkan tubuhnya menghadap Jenia. "Oke, kemarin aku khilaf," ucapnya membuat Jenia menolah. "Sebenarnya bukan cuma aku, tapi kamu juga," ralatnya.

Jenia berdeham salah tingkah. Kemarin memang bukan hanya Gama yang khilaf, tapi dirinya juga. Ciuman membuat mereka lupa diri. Beruntung ada anak-anak yang mampu membuat mereka berhenti.

"Aku salah karena nyentuh kamu padahal kita udah nggak ada ikatan suami istri," ucap Gama lirih. "Dan kamu salah karena balas ciumanku," tambahnya.

Jenia kembali menyesap kopinya. Telinganya tetap fokus mendengarkan setiap kalimat yang diucapkan oleh Gama.

"Aku nggak akan nyentuh kamu lagi sebelum ada ikatan apapun. Aku bisa jamin itu," ucap Gama penuh keyakinan.

"Oke," sahut Jenia kembali menyesap kopinya. Ia menikmati rasa pahit dan manis bercampur menjadi satu.

"Karena itu, ayo kita nikah lagi!" cetus Gama dengan raut wajah serius.

Jenia menyemburkan kopi tepat di wajah Gama. Buru-buru ia meletakkan cangkir kopi dan mengelap wajah Gama yang basah.

"Bisa nggak kalo kaget nggak perlu pakai nyembur kopi panas ke mukaku?" Gama menarik tisu, ikut membersihkan wajahnya sendiri.

Jenia meringis, merasa bersalah dengan tindakan spontannya. "Makanya kalo ngomong jangan ngaco."

"Siapa yang ngaco?" Raut wajah Gama kembali berubah menjadi serius. "Aku beneran ngajak kamu nikah, Jen. Kali ini kita nikah dengan versi kita yang lebih dewasa dan lebih baik."

"Nikah nggak segampang itu, Mas."

"Emang kamu nggak kangen nikah sama aku? Kamu nggak kangen kita berdua--"

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now