"Kenapa nggak bilang kalo kamu udah ketemu sama Mas Gama dan Mas Adam?" todong Jenia begitu Kamil baru masuk ke rumahnya.
"Maaf, Mbak." Kamil mengambil duduk di dekat Kakaknya.
"Harusnya kamu bilang ke aku. Jadi, aku nggak perlu kaget begitu dia muncul tiba-tiba di depanku."
Kamil meringis, merasa bersalah. "Kembar udah tau kalo Mas Gama itu Papi mereka?"
"Belum," jawab Jenia cepat. "Mas Gama berencana datang ke rumah hari Sabtu."
"Ngapain Mas Gama datang ke sini?"
"Karena aku dan Mas Gama perlu ngasih tau Al dan Ar kalo ternyata Papi mereka masih hidup. Aku pilih hari Sabtu, karena di hari itu mereka berdua libur. Aku takut informasi yang aku kasih akan buat mereka kepikiran dan ganggu kosentrasi belajar mereka."
"Kenapa Mbak Jenia nyuruh Mas Gama buat datang ke rumah?"
"Terus, menurutmu dimana tempat yang cocok untuk bicarain hal sesensitif ini selain di rumah?" balas Jenia melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku nggak mau orang lain dengar apa yang sedang kami bicarain. Aku juga antisipasi dengan reaksi kembar nantinya. Kalopun dia marah, nangis, kecewa, mereka bisa langsung luapin di kamar."
Mendengar jawaban Kakaknya yang masuk akal, membuat Kamil mengangguk setuju. "Mbak cuma berniat ngasih tau si kembar soal Mas Gama itu Papi mereka, kan?"
"Maksudmu apa?"
Kamil menatap Kakaknya dengan raut wajah serius. "Mbak nggak berniat rujuk sama Mas Gama, kan?"
Jenia lantas terbahak. "Nggak mungkin aku rujuk sama dia."
"Gimana kalo si kembar nggak mau nerima Mas Gama sebagai Papi mereka?"
Jenia mengedikkan bahu. "Itu urusan Mas Gama. Yang terpenting, tugasku untuk mengenalkan mereka akan aku lakukan dengan baik," sahutnya santai. "Terlepas nantinya Al dan Ar nggak bisa terima Papinya, itu jadi urusan Mas Gama. Biar dia yang cari cara untuk ngambil hati mereka."
"Oh ya, Mbak." Kamil mengambil cemilan dari toples yang ada di atas meja, kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. "Temanku ada yang mau kenalan sama Mbak Jenia," lanjutnya.
Jenia menaikkan sebelah alisnya. "Emang kamu punya teman?"
Kamil berdecak keras sambil memandang Kakanya sebal. "Aku beneran, Mbak. Temanku itu mau ngajak Mbak Jenia ketemu dan kenalan. Cuma ngobrol aja kok, nggak ada maksud apa-apa."
"Umur berapa?" tanya Jenia tanpa basa-basi.
"Empat tahun lebih tua dari Mbak Jenia."
Jenia mendesah lelah. "Aku malas kenalan sama orang baru."
"Hmmm ... tapi, aku udah terlanjur ngeiyain. Nanti kalo Mbak Jenia nggak mau nemuin dia, aku yang nggak enak sama dia."
Jenia mendengus sebal. "Nyebelin banget sih. Bikin repot orang aja."
"Gimana, Mbak?"
"Cuma ketemu doang, kan?"
Kamil mengangguk cepat. "Anggap aja nambah-nambah relasi, Mbak," sahutnya. "Btw, dia tau kok statusnya Mbak Jenia yang janda dan udah punya dua anak."
Jenia menarik napas, lalu menghembuskannya keras. "Kapan?"
"Hari Jumat, ketemunya jam setengah tujuh."
"Dimana?"
"Nanti tempatnya aku kasih tau."
"Terus, si kembar sama siapa di rumah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Finished Yet [Completed]
ChickLitHidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpisahan dengan Jenia hampir sepuluh tahun yang lalu, Gama melanjutkan hidupnya seperti biasa. Beberapa kali mencoba membuka diri pada perempuan...