Bab 33

26.2K 3.1K 85
                                    

Jam menunjukkan pukul lima sore. Jenia duduk di kursinya, ibu jari dan telunjuknya memijat pangkal hidungnya. Setelah beberapa hari berkutat mengurus berbagai masalah yang terjadi, akhirnya saat ini ia bisa sedikit bersantai.

Berbisnis memang tidak selamanya mulus. Ada kalanya ia menemui hambatan-hambatan yang membuat kepalanya pusing. Untung saja setiap ada masalah, ia tidak sendirian. Ia dan Kamil selalu mencari jalan keluar di setiap masalah di bisnis mereka.

Seperti masalah yang terjadi beberapa hari terakhir. Dimulai dari masalah dengan seorang influencer perempuan bernama Aina. Baru kali ini timnya bertemu seorang influencer yang tidak profesional karena tidak meng-upload video endorsement sesuai dengan perjanjian yang sudah disepakati. Padahal timnya sudah melakukan pembayaran yang jumlahnya tidak sedikit. Dan yang lebih mengesalkan, Aina sebagai influencer semakin berulah dan berlagak seperti korban. Untung saja ada brand-brand lain yang menjadi korban dari Aina ikut bersuara sehingga sang influencer tidak bisa berkutik.

Di saat berhadapan dengan masalah yang terjadi pada influencer, Jenia dan Kamil juga harus menyelesaikan masalah yang terjadi dari pihak aplikasi e-commerce. Secara tiba-tiba pesanan yang sudah masuk hilang begitu saja. Bukan hanya puluhan, tapi jumlah pesanan mencapai ratusan dalam satu hari. Padahal seluruh timnya sudah bekerja keras untuk melakukan live di tanggal kembar demi mendapatkan pesanan sebanyak itu. Mereka juga harus membuat customer kecewa karena kejadian ini.

Kamil tiba-tiba masuk, kemudian meletakkan satu gelas kopi dari brand lokal di hadapan Kakaknya. "Mbak pulang aja deh. Biar nanti aku yang nutup toko," ucapnya.

Jenia meminum kopi yang dibawakan oleh Kamil. "Anak-anak jangan dibiarin lembur. Hari ini mereka udah live. Padahal beberapa hari lalu mereka udah live berjam-jam."

Kamil manggut-manggut. Ia menarik kursi untuk duduk di dekat Kakaknya.

"Oh ya, tim packing juga. Mereka pasti capek banget beberapa hari ini lembur terus."

"Iya, Mbak."

"Nanti kalo ada orang jualan yang lewat depan toko, langsung panggil aja. Suruh anak-anak berhenti kerja terus makan sama-sama."

Kamil melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Masih jam segini, Mbak. Belum ada orang jualan yang lewat. Paling mentok-mentok jualan bakso."

"Aku barusan udah pesan pizza agak banyak. Nanti kamu suruh mereka ambil. Lumayan buat ganjel sebelum makan malam."

"Kalo nanti nggak ada orang jualan yang lewat, mungkin aku beliin nasi bungkus aja kayak biasanya."

"Terserah deh."

"Mbak Jen pulang aja deh. Kasihan si kembar kalo ditinggal lama-lama. Padahal ini hari Sabtu."

Jenia menghela napas lelah. Dari pagi ia sudah keluar rumah. Bahkan tadi pagi ia meninggalkan si kembar hanya berdua di rumah sebelum Gama datang.

"Btw, Mbak Jen beli kalung baru?" tanya Kamil tiba-tiba. Tatapan matanya tertuju pada kalung yang melingkar di leher Jenia.

Jenia sontak menyentuh kalung yang sedang ia pakai. Kalung pemberian Gama saat mereka liburan bersama di Malang. "Kalung dari Mas Gama," jawabnya jujur.

Kamil diam tanpa ekspresi. Tak lama ia menghela napas keras. "Mbak Jen berencana ngasih kesempatan kedua buat Mas Gama, ya?" tanyanya dengan tatapan penuh selidik.

Kali ini Jenia yang diam. Cukup lama dia terdiam, sampai akhirnya ia membuka suara. "Kamu keberatan kalo aku sama Mas Gama rujuk?" tanyanya dengan suara lirih.

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now