Bab 14

42K 3.8K 235
                                    

"Mama bilang apa ke Jen?" tanya Gama memastikan bahwa ia tidak salah dengar kalimat yang barusan keluar dari mulut Mamanya.

"Mama nyuruh kalian rujuk."

Gama menggeram kesal. "Mama nggak perlu bilang kayak gitu ke Jen. Aku sama Jen baru ketemu lagi setelah sepuluh tahun. Pasti dia nggak nyaman Mama bahas soal itu."

Mama menyelesaikan menata bahan makanan di kulkas, sebelum berjalan menghampiri Gama. "Selama sepuluh tahun kamu nggak pernah dekat sama perempuan lain. Setiap kenal sama perempuan, ada aja kurangnya di mata kamu. Semua kamu bandingin sama Jen. Kamu jadiin Jen standar untuk cewek-cewek yang mau dekat sama kamu."

"Ma...."

"Mama cuma mau Alula dan Aruna punya orang tua lengkap. Anak yang dibesarkan dengan orang tua yang lengkap, pasti akan lebih bahagia," selama Mama cepat. "Emang Mama salah mau kalo si kembar bahagia?"

"Aku tau maksud Mama, tapi caranya nggak gitu. Mama baru aja minta maaf ke Jen soal kejadian sepuluh tahun lalu, terus sekarang Mama bikin Jen nggak nyaman."

"Jangan dikira Mama nggak tau kalo kamu masih cinta sama Jen. Selama sepuluh tahun ini nggak ada cewek yang benar-benar menarik perhatianmu. Setiap Mama suruh kamu nikah lagi, ada aja alasannya," omel Mama dengan ekspresi kesal.

Gama menghela napas keras. "Kalopun aku masih cinta sama Jen, bukan berarti aku maksa dia untuk rujuk. Semua yang terjadi, nggak harus sesuai sama kehendak Mama."

"Tap--"

"Jangan pernah bahas soal ini lagi sama Jen. Aku yakin seratus persen kalo dia nggak nyaman sama pembahasan soal rujuk."

"Mama cuma mau bantu kamu." Mama menduduki sofa dengan kaki disilangkan.

Gama melipat kedua tangannya di depan dada. "Dengan Mama bahas soal rujuk sama Jen, itu nggak ngebantu sama sekali. Yang ada dia makin ngehindar dari aku."

Mama mencibir pelan. "Awas aja kalo sampai kamu nyesal. Kalo Jen punya pacar, kamu akan ada saingan. Akan ada laki-laki lain yang dipanggil dengan sebutan Papi sama si kembar."

Gama terdiam. Ia tidak mau membayangkan ada laki-laki lain dipanggil dengan panggilan yang sama dengannya. Sampai kapanpun, si kembar adalah anak-anaknya.

***

"Makasih udah mau aku ajak ketemu lagi."

Jenia mengangguk dengan memberikan senyum simpul. Saat pelayan datang, ia mulai menyebutkan pesanannya. Begitu juga laki-laki di hadapannya yang melakukan hal sama dengannya.

"Hari Sabtu kayak gini kamu nggak sibuk?" tanya Abimana begitu pelayan sudah pergi.

"Biasanya kalo hari Sabtu aku lebih banyak habisin waktu di rumah sama anak-anak."

"Wah, berarti aku ngambil waktumu sama si kembar dong?"

Jenia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hari ini si kembar akan dijemput sama Papinya. Mereka berencana mau ngehabisin hari Sabtu bareng."

"Hubunganmu sama mantan suami masih baik ya ternyata." Kalimat ini bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan dari Abimana.

Jenia nyengir. "Bisa dibilang kayak gitu," sahutnya sekenannya. "Aku berusaha menjaga hubungan baik sama mantan suami karena ada anak-anak diantara kami. Aku nggak mau anak-anak lihat Mami sama Papinya punya hubungan yang buruk," lanjutnya menjelaskan.

"Benar, kalo hubungan orang tuanya buruk, akan berdampak buruk juga ke perkembangan emosional mereka. Kalo ada anak, ego orang tua akan berusaha dihilangkan. Walaupun udah mantan, kalian harus tetap berhubungan baik," sahut Abimana menanggapi. Jeda sejenak, sebelum akhirnya Abimana berbicara lagi. "Hubunganku sama keluarga mantan istri juga cukup baik."

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now