Bab 35 [end]

32.9K 2.8K 87
                                    

Gama mengetuk-ngetukkan jarinya pada kemudi. Suasana parkiran sekolah cukup ramai. Saat ini ia sedang berada di dalam mobil, menunggu Jenia menjemput si kembar. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ia melihat Jenia. Namun, ia keheranan saat melihat Jenia tidak bersama si kembar.

"Anak-anak lagi sama temannya." Kalimat pertama Jenia begitu masuk ke mobil.

"Ngapain?"

"Ngobrol sebentar. Kayaknya sih lagi bahas tugas atau apa gitu. Aku juga kurang tau," jawab Jenia. "Mereka nyuruh aku ke mobil duluan, nanti mereka nyusul."

"Mereka tau kalo aku ikut jemput, kan?"

Jenia mengangguk. "Dari kemarin aku udah ingatin ke mereka kalo hari ini Mas Gama ikut jemput."

Gama manggut-manggut. Ia diam sebentar, mengamati Jenia yang mulai sibuk dengan ponselnya. "Aku berencana beli rumah," cetusnya tiba-tiba.

Jenia sontak menoleh. "Ngapain?" tanyanya dengan wajah bingung. "Mas Gama kan udah punya apartemen. Ngapain beli rumah segala?"

Gama menghembuskan napas keras. "Alula sama Aruna nanyain soal rumah. Setelah dipikir-pikir, emang harusnya aku punya rumah."

Jenia berdecak. "Pemborosan banget, Mas," sahutnya. "Kan apartemen yang sekarang udah cocok banget buat Mas Gama. Jaraknya dekat pula dari kantor."

"Kamu nggak setuju aku beli rumah?"

Jenia menghela napas panjang. "Bukan nggak setuju, Mas." Diam sebentar, Jenia berusaha merangkai kata-kata sebelum keluar dari mulutnya. "Maksudku, apartemen yang ditempati sekarang udah cocok banget buat Mas Gama. Lokasinya juga nggak jauh dari kantor."

"Kalo nanti kita rujuk, nggak mungkin aku ngajak kamu sama anak-anak tinggal di apartemen kecil itu."

"Kan belum rujuk," sahut Jenia sambil menampilkan cengiran.

Gama mendengus keras, tidak suka mendengar ucapan Jeni. "Cepat atau lambat, kita bakal rujuk."

"Yaudah, cari rumahnya setelah kita rujuk aja. Sekarang nggak perlu buru-buru."

Gama menggeleng-geleng, nampak tidak setuju dengan ucapan Jenia. "Cari rumah kan nggak segampang itu. Belum juga desain dalam rumahnya. Aku mau anak-anak punya kamar yang bagus, sesuai keinginan mereka."

"Mas Gama berencana nyuruh Alula sana Aruna tidur di kamar yang beda?"

Gama mengedikkan bahunya. "Itu sih terserah mereka. Kalo emang mereka nggak mau tidur terpisah, berarti kamar mereka harus luas."

Tak lama kemudian, Alula dan Aruna masuk ke dalam mobil. Kunciran rambut mereka sudah berantakan, tidak serapi saat berangkat.

"Tadi ngobrol apa sama teman-temannya?"  tanya Gama, menoleh ke kursi tengah.

"Ngobrol soal tugas," jawab Aruna.

"Itu aja?"

Aruna mengangguk.

"Oke, hari ini kalian mau makan apa?" tanya Gama sambil memakai sabuk pengaman.

Alula dan Aruna saling tatap, kemudian dengan kompak menjawab. "Pizza!"

Jenia menoleh ke kursi tengah. "Kok bisa-bisanya kalian jawabnya kompak?" Keningnya berkerut, nampak curiga dengan kedua anaknya. "Pasti di sekolah udah dipikirin mau makan apa, ya?"

Aruna nyengir lebar. "Karena tau hari ini Papi yang jemput, di sekolah aku sama Alula udah mikirin mau makan apa."

Gama terkekeh mendengar jawaban anaknya.

Not Finished Yet [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang