Bab 27

32.5K 3.2K 121
                                    

"Makasih, Mas."

Gama tersenyum. "Kamu nggak perlu bilang makasih, Jen."

Jenia menghembuskan napas panjang. "Waktu Mas Gama ngajak Aruna keluar, aku ngintip Alula ngerjain tugas di kamarnya, aku jadi merenung. Mungkin hari ini aku terlalu emosional. Nggak seharusnya aku marahin Alula sama Aruna kayak tadi."

Gama memegang tangan Jenia, membuat perempuan itu menatapnya. "Apa yang hari ini mereka lakuin sama sekali nggak salah."

Jenia manggut-manggut.

"Coba bayangin kalo Alula nggak ngelawan, Aruna akan jadi sasaran empuk untuk di-bully." Gama diam sebentar, mengamati ekspresi Jenia yang berubah menjadi sendu. "Kamu yang lebih tau sifat mereka. Aruna nggak seberani Alula. Anak itu punya hati yang lebih lembut. Kalo aja Reon ngelempar bola itu dan Aruna cuma nangis tanpa ngebalas apapun, aku jamin di lain hari Reon akan ngelakuin hal yang sama ke Aruna."

"Dan Aruna akan jadi sasaran bully yang empuk," sahut Jenia menutup wajahnya dengan satu tangannya.

"Kita perlu tanamin ke mereka untuk balas apapun yang dilakuin temannya. Kalo ada temannya yang mukul, mereka harus balas mukul. Kalo ada temannya yang nendang, mereka harus balas nendang. Biar temannya tau kalo mukul, nendang, atau perlakuan apapun yang nyakitin, itu bukan hal yang bisa didiamin."

"Aku tiba-tiba setuju"

"Setuju apa?" Gama menaikkan sebelah alisnya, tak percaya Jenia akan percaya secepat ini.

"Aku setuju buat masukin Alula sama Aruna untuk belajar bela diri."

"Di sekolah mereka ada eskulnya. Tadi aku udah nanya ke Aruna," beritahu Gama. "Tapi, aku bisa cariin tempat kursus yang bagus kalo mereka mau belajar dalam waktu dekat," tambahnya dengan tersenyum.

"Nanti aku tanya mereka dulu."

Gama mengangguk. "Jen," panggilnya.

"Hm?"

"Aku lihat tugasnya Alula banyak banget. Kalo emang Aruna nggak boleh bantu, paling nggak kamu harus bantuin dia."

"Aku?"

"Aku kasihan lihat dia harus ngerjain tugas sebanyak itu. Tugas itu belum tentu akan selesai dalam tiga hari kalo nggak ada yang bantuin."

Jenia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. "Masalahnya, aku nggak yakin bisa bantu. Aku aja udah lupa sama pelajar SD."

Gama terkekeh. "Besok aku ke sini lagi buat bantu Alula ngerjain tugasnya."

"Makasih."

"Stop say thank you."

Jenia mengulum senyum.

Gama mengecek jam di ponselnya. "Udah malam, Jen. Aku sebenarnya nggak mau pulang, tapi takut besok pagi tetanggamu pada datang buat grebek kita."

Jenia tertawa.

"Aku pulang dulu. Kalo ada sesuatu langsung kabari aku."

"Oke," sahut Jenia. "Mas Gama pulangnya hati-hati. Nyetirnya jangan ngebut atau main hp," lanjutnya membuat Gama tersenyum lebar.

"Aku mau nyium kamu, tapi takut kamu refleks nendang aku."

Jenia memutar bola matanya malas. "Pulang, Mas!" serunya sambil mendorong Gama keluar dari rumah.

***

Jenia mengetuk pintu kamar anaknya, begitu mendapat sahutan dari dalam ia langsung membuka pintu. Kemudian ia duduk di kasur, tepat diantara Alula dan Aruna.

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now