Bab 16

38.8K 3.6K 114
                                    

Dulu setiap salah satu atau kedua anaknya sakit, Jenia selalu ke rumah sakit sendiri. Pernah beberapa kali diantar Kamil, tapi lebih sering sendiri karena Adiknya harus mengurus usaha mereka. Dari mengurus administrasi, mendengar penjelasan dokter, bahkan mengambil obat juga dilakukan sendiri oleh Jenia. Biasanya kalau salah satu dari anaknya sakit, pasti yang satu lagi juga ikut sakit. Selalu ada ikatan batin antara Alula dan Aruna. Tentu saja itu merepotkan, tapi harus diakukan karena demi anak-anaknya.

Kali ini berbeda dari biasanya. Selagi menunggu Alula masuk ruang pemeriksaaan, Jenia duduk menunggu bersama Aruna. Sedangkan Gama berdiri di dekat pintu ruang CT scan. Awalnya Jenia bingung saat Gama menyuruh dokter untuk melakukan pemeriksaan lengkap pada Alula.

"Al kepalanya kebentur lantai. Aku harus pastiin dia nggak ada masalah serius di otaknya. Jatuh di kamar mandi itu bahaya banget dan akibatnya bisa fatal," ucap Gama memberi alasan.

Mendengar alasan Gama, membuat Jenia ikut setuju. Ia hanya bisa berdoa agar hasil yang didapat semua baik.

"Duduk, Mas," ucap Jenia saat melihat Gama berjalan mondar-mandir.

Gama menggeleng.

"Mas Gama nyuruh aku tenang, tapi Mas Gama nggak bisa tenang."

Gama menghela napas keras. Akhirnya ia berjalan menghampiri kursi tunggu, lalu duduk di sebelah Aruna. Melihat Aruna yang diam saja, akhirnya Gama memeluk tubuh anaknya.

Selesai pemeriksaan, Gama meminta agar anaknya dirawat di rumah sakit sampai kondisi Alula membaik. Saat Alula sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, anaknya itu sempat mual bahkan beberapa kali muntah membuat Jenia dan Gama panik. Ditambah Alula belum berhenti menangis dari rumah sampai rumah sakit.

Setelah itu Gama keluar sebentar untuk membeli makanan dan minuman. Ia juga harus membeli beberapa perlengkapan untuk Alula. Ia menyuruh Jenia agar tetap berada di kamar rawat inap, menjaga Alula dan Aruna.

"Sakit banget, ya?" tanya Aruna yang duduk di kursi samping ranjang Alula.

Alula mengangguk dengan wajah ingin menangis lagi. 

Aruna menggenggam tangan Alula yang bebas dari infus. "Al bakal sembuh kan, Mi?" tanyanya menatap Maminya yang duduk di sebelahnya.

"Al pasti sembuh. Ada dokter dan perawat yang akan ngerawat dia," jawab Jenia berusaha menenangkan. Ia merangkul Aruna, mengusap-usap pundak anaknya. "Coba ceritain ke Mami, kronologi Alula jatuh," pintanya mematap Aruna. Melihat kondisi Alula yang mengeluh sakit dan sampai muntah, pasti ada hal yang ia lewatkan.

Aruna memilin jari-jarinya. "Waktu mandi aku sama Al main sabun dan shampo. Kita bikin gelembung-gelembung banyak." Diam sebentar untuk menarik napas panjang.  "Sebelum jatuh yang Mami sama Papi lihat, sebenarnya Al udah sempat jatuh. Aku kira dia nggak papa. Makanya aku sama dia lanjut mainan lagi. Waktu udah selesai mandi dan udah pakai handuk, Al malah jatuh lagi. Jatuhnya lebih keras dari yang pertama."

"Jatuhnya yang pertama gimana?"

"Al jatuh sambil satu tangan nahan badannya. Dia sempat ngeluh sebentar kalo tangannya sakit, habis itu dia ketawa-ketawa."

"Jatuh yang kedua?"

"Langsung jatuh gitu aja nggak sempat nahan badannya. Aku juga mau nolong tapi kalah cepat karena dia udah keburu jatuh. Kepalanya Al ngebentur lantai keras banget, Mi."

"Udah, nggak papa." Jenia mengusap-usap punggung Aruna naik turun.

"Kepala Al nggak akan pecah kan, Mi?" tanya Aruna khawatir.

Jenia menggeleng. "Pasti Al akan baik-baik aja," ucapnya. Kalimat itu yang terus dirapalkan olehnya, meski ia belum tahu hasil pasti dari kondisi Alula. Melihat Alula yang mulai tidur, membuatnya sedikit tenang. "Kamu istirahat juga," ucapnya menatap Aruna. Ia membawa Aruna untuk berbaring di tempat tidur yang diperuntukan untuk penunggu pasien.

Not Finished Yet [Completed]Where stories live. Discover now