1

730 17 0
                                    

Padatnya jalan raya di tengah hari, tidak membuat Rani mengurangi kecepatan mobilnya. Senior manager sebuah perusahaan manufaktur berusia 42 tahun itu terlihat tegang. Jemarinya menggenggam erat kemudi, hingga urat di pergelangan tangannya tampak menonjol.

Ia mengemudikan mobilnya masuk gerbang sebuah perumahan elit. Dilewatnya pos satpam tanpa mengurangi kecepatan. Kedua satpam yang berjaga memandang mobilnya dengan heran karena tidak biasanya ia tidak menyapa.

Mobilnya berbelok memasuki halaman sebuah rumah yang cukup mewah dan berhenti tepat di depan pintu garasi. Kemudian dengan langkah lebar ia masuk rumah lewat pintu depan. Suara ketukan sepatunya beradu cepat dengan lantai keramik, membuat seorang ART paruh baya tergopoh-gopoh menyambutnya.

"Nyonya sudah pulang?" Perempuan itu menunduk sedikit setelah melirik jam dinding. "Mau makan siang di rumah?"

Baru akan menjawab pertanyaan ARTnya, ponselnya berdering. Dengan tetap melangkah menuju kamarnya, ia menerima panggilan itu.

"Apa yang kau lakukan! Apa kau kira karena kamu istriku, aku tidak bisa memecatmu?! Berapa kerugian yang kaubuat karena begitu saja meninggalkan rapat?!" Terdengar omelan panjang dari seberang. Itu adalah suaminya, sekaligus pemilik perusahaan tempatnya bekerja.

"Masih banyak orang yang mau bekerja! Bawahanmu sudah siap menggantikanmu kalau kamu tidak hati-hati! Bisa tidak kamu tidak seenaknya sendiri?! Semua ada prosedurnya! Kamu bisa mengikuti aturannya kalau ijin keluar selama jam kerja! Jangan main kabur saja! Itu bisa menjadi contoh yang buruk untuk karyawan lainnya!"

Rani memijit pelipisnya. Kepalanya berdenyut mendengarkan omelan demi omelan suaminya.

"Mas, tadi aku sudah bilang, ini soal Radit!" serunya sedikit emosi. "Gurunya menelepon. Radit hilang. Dia terpisah dari rombongan."

"Kamu tahu sendiri kan anak-anak itu. Mungkin mereka bosan dan melarikan diri beberapa jam dari rombongan."

"Tapi Radit tidak biasanya seperti itu! Dia baru 13 tahun! Dan dia tidak mengenal Spanyol! Anak-anak itu tidak ada yang pernah ke Spanyol sebelumnya!"

"Tunggulah beberapa jam lagi. Kita tunggu berita dari gurunya."

"Aku tidak bisa menunggu. Bagaimana kamu bisa menyuruhku menunggu?! Berapa lama?! Dua puluh empat jam?! Radit masih anak-anak! Dalam dua puluh empat jam apa pun bisa terjadi," katanya sambil mulai mengepak barang-barangnya.

"Kamu sendiri tidak mengenal Spanyol. Apa yang bisa kamu lakukan di sana?!"

"Apa saja! Aku bisa melakukan apa saja! Tapi jangan suruh aku menunggu tanpa kepastian di sini!"

"Tapi kamu punya tanggung jawab di sini! Bagaimana proyek yang kamu pegang?!"

"Ini Radit Mas! Anakmu! Kamu lebih takut kehilangan proyek daripada kehilangan anakmu! Pecat aku kalau kamu mau. Pecat!"

Rani memutus sambungan telepon secara sepihak. Ia menutup kopernya dengan kasar. Kemudian ia menyiapkan dokumen perjalanannya. Sesudahnya ia terduduk di tepi ranjang dan mulai menangis. Antara takut, sedih dan khawatir menjadi satu menguasai batinnya.

Takut bila hal-hal buruk menimpa putra bungsunya di negeri asing mendominasi hatinya. Takut ia tidak bisa lagi memeluk anaknya.

"Ibu...."

Rani segera menghapus air matanya dan berusaha tersenyum menyambut putri sulungnya. Gadis tujuh belas tahun itu menghampirinya dengan raut khawatir, lalu menghambur ke pelukannya.

"Adik bu...."

Rani berusaha tegar. "Adik akan baik-baik saja. Ibu akan mencarinya sampai ketemu. Kamu doakan dari rumah ya?"

EPILOGحيث تعيش القصص. اكتشف الآن