7

135 8 0
                                    

Lee Dowoo menghela nafas panjang sebelum masuk ke kamar hotelnya. Ia membuka pintu dan mendapati istrinya masih duduk di depan laptopnya. Ia mendekat dan duduk di sampingnya.

"Ada apa?" tanya Jang Haein.

"Tidak bisakah kamu tidak bekerja sehari saja? Aku rindu saat kita menghabiskan waktu berdua," kata Lee Dowoo pelan.

Jang Haein menghentikan pekerjaannya dan duduk miring menghadap suaminya. "Kamu tahu kan betapa pentingnya pekerjaan ini untukku? Dengan bekerja aku dikenal sebagai Jang Haein, bukan sekedar istri Profesor Lee Dowoo. Dengan bekerja aku menjadi diriku sendiri. Ini penting untukku. Aku tidak ingin hanya dikenal sebagai istrimu."

"Maaf kalau kamu harus dikenal sebagai istriku," ujar Lee Dowoo dengan perasaan terluka. "Apakah kamu tidak menyadari, ada yang salah dengan pernikahan kita? Kita semakin jauh, semakin asing, bukannya semakin saling mengerti. Kamu membuatku pergi ke seluruh dunia dengan alasan mengajar. Kamu mengirim Soomin untuk belajar di luar negeri sejak masih muda. Waktu kita untuk bersama sebagai keluarga semakin sedikit. Bahkan aku merasa kamu semakin tidak kupahami."

"Aku melakukannya untuk kita. Aku membuat namamu terkenal hingga keluar negeri sebagai pakar arsitektur. Selain mendapat materi, kita mendapat nama. Kamu mendapat nama besar. Aku mempersiapkan Soomin agar sukses sepertimu. Agar dia juga menjadi arsitek terkenal. Jadi jika tiba waktunya kamu pensiun, ada Soomin yang akan menggantikanmu," ujar Jang Haein.

Lee Dowoo menggeleng-gelengkan kepalanya. Selama ini ia mengira Haein mendorongnya mengejar karir karena cinta, karena ingin ia mengembangkan dirinya, untuk kebaikannya. Ternyata tujuan Jang Haein sangat dangkal, hanya untuk nama besar, hanya untuk terkenal.

Untuk pertama kalinya Lee Dowoo memandang Jang Haein dari sisi yang berbeda. Ia merasa menjadi obyek dalam pernikahannya ini bukan subyek.

Lee Dowoo meninggalkan kamarnya dengan perasaan sedih. Ia menuju bar hotel, duduk sendiri dan termenung. Ia teringat perkataan Rani. Ia kini menyadari betapa ia lelah selama ini. Lelah untuk mengajar sampai ke negeri yang jauh. Ia seolah hidup di atas pesawat.

Lee Dowoo masih punya jam mengajar di Universitas Nasional Seoul. Sebenarnya ia ingin mengajar penuh di Korea dan hanya sesekali mengisi seminar di luar negeri. Namun setelah beberapa kali mendapat undangan untuk mengisi seminar, Jang Haein mulai menangkap peluang.

Kadang ia sendiri tidak tahu berapa kali dalam sebulan ia harus keluar negeri. Semua diatur Yongjin bersama istrinya. Pernah ia hanya menginjakkan kaki beberapa jam dalam seminggu di Korea untuk mengajar, kemudian kembali terbang keluar negeri. Lee Dowoo berpikir, untuk apa ia melakukan semua itu, padahal ia tak menikmatinya?

Ia memesan segelas bir dan meminumnya pelan-pelan sendirian. Saat di Korea kadang ia minum dengan teman, tapi tak sesering dulu. Temannya juga tak sebanyak dulu. Pekerjaannya yang lebih banyak di luar negeri membuatnya tidak bisa sering bertemu teman-temannya. Padahal Lee Dowoo sangat senang bersosialisasi. Kesibukan sudah merampas segalanya.

Ia keluar dari bar dan memutuskan berjalan-jalan sebentar, lalu duduk di sebuah bangku di pinggir jalan. Ia termenung dan teringat Rani. Teringat kata-kata perempuan itu untuk tidak mengabaikan keluarganya.

Diambilnya ponselnya, lalu dicarinya nomor Rani yang sempat dimintanya. Telepon berdering dan sebentar kemudian diangkat.

"Halo."

"Rani Ssi," sapa Dowoo.

"Lee Dowoo Ssi, ada apa?"

"Hanya ingin bicara. Aku membutuhkannya."

"Oh, baiklah!"

"Pernahkah kamu tiba-tiba tersadar bahwa selama ini kamu melakukan sesuatu untuk kepuasan orang lain? Pernahkah kamu menyadari bahwa yang kamu inginkan hanyalah hidup seperti air mengalir, mendengarkan tawa anakmu, menikmati senyum istrimu dan belaian ibumu? Pernahkah kamu menyadari bahwa kini kamu hampir kehilangan semuanya?"

EPILOGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang