21

153 12 0
                                    

Esoknya Radit sudah boleh keluar dari ruang isolasi dan pindah ke kamar perawatan biasa. Teman sekamar Radit adalah seorang anak berusia 10 tahun yang baru saja dioperasi usus buntu.

Waktu Arimbi dan Yanti datang, Raditya sudah dipindahkan, jadi mereka bisa langsung berinteraksi. Keduanya langsung datang dari bandara.

"Beb, kangen banget aku tu," ujar Yanti sambil memeluknya. Arimbi langsung memeluk adiknya.

"Kakak, nggak kangen ibu?"

"Kangennnn!" Arimbi berlari memeluk ibunya. Rani memeluk erat anak gadisnya dan menciuminya penuh rasa rindu.

"Kalian sudah sarapan belum?"

"Sudah. Begitu turun kami sarapan dulu," sahut Yanti.

"Kalo capek kalian ke hotel dulu gih!" ujar Rani. "Nanti sorean aja ke sini lagi."

"Nanti sebentar lagi Bu," sahut Arimbi. "Masih kepingin ketemu ibu sama adik."

"Ya sudah. Kakak temani Radit dulu ya! Onty ada urusan sama ibu kamu," kata Yanti sambil menyeret Rani keluar kamar.

"Ih! Apaan sih Yan?" gerutu Rani. "Kak! Titip adek dulu ya!"

Pada akhirnya Rani membawa Yanti ke kantin rumah sakit. Mereka memesan minum dan kudapan.

"Sekarang kamu harus cerita soal kejadian yang viral di internet. Kamu beneran digampar karena ketemuan sama lakinya tu orang?"

"Digamparnya bener, tapi bukan karena mau ketemuan sama suaminya."

"Ceritanya gimana?"

"Jadi yang meninggal ini nyonya Gong Ara seorang perancang perhiasan. Punya anak laki-laki namanya Lee Dowoo. Anaknya ini sudah punya istri sama anak. Waktu di Spanyol aku secara tidak sengaja berkenalan sama ibu dan anak ini tanpa mengetahui kalau mereka ibu dan anak."

"Maksudnya?"

Rani menghela nafas. "Aku ketemu Lee Dowoo Ssi di Guadalajara. Dia mengenali aku, katanya kami naik bus yang sama, jejer. Tapi karena pikiranku kalut sama masalah Radit, aku tidak mengenalinya. Lalu kami berkenalan, ngobrol. Sudah, begitu saja. Ternyata kami satu hotel. Dia menghibur aku waktu aku terpuruk. Waktu itu aku bingung karena Hilman pulang tapi Radit hilang."

"Kamu tahu kalau dia sudah punya istri?"

"Tahu. Dia cerita. Di hari lain, di tempat lain, aku bertemu dengan nyonya Gong Ara. Kami berkenalan, ngobrol tentang berbagai hal. Dia wanita tua yang menyenangkan. Hangat dan perhatian. Aku langsung merasa cocok. Seperti ketemu ibu sendiri. Kamu bisa kan membayangkan perasaan seperti itu?"

Yanti mengangguk.

"Nyonya Gong juga bercerita kalau dia berlibur bersama anak, menantu dan cucunya. Tapi sama sekali tidak terpikir kalau mereka ada hubungan. Di pertemuan kedua, nyonya Gong memberi aku bros. Katanya untuk anakku. Waktu itu kami mengobrol soal anak. Setelahnya aku harus meninggalkan Korea. Aku tidak sempat berpamitan sama kedua orang ini. Aku sempat mengirim pesan kepada Lee Dowoo, tapi hanya pesan biasa. Intinya aku pamit meninggalkan Spanyol."

"Kamu nggak pernah lagi ketemu Lee Dowoo ini?"

"Di Spanyol kami beberapa kali ketemu. Kami pernah bertemu sekali di Shanghai. Lee Dowoo ini seorang profesor. Dan dia sering diminta untuk menjadi pembicara seminar di seluruh dunia. Sesudah pertemuan di Shanghai kami sama sekali tidak pernah bertemu, bahkan tidak pernah saling mengirimkan pesan ataupun telepon. Untuk ini aku berani bersumpah. Pertemuan di rumah duka adalah pertemuan pertama kami setelah pertemuan di Shanghai.  Kami lost contact sekitar tiga minggu."

Yanti masih tekun mendengarkan.

"Aku punya kartu nama nyonya Gong. Aku pernah memintanya karena ingin memberi hadiah balasan. Lalu mumpung aku di sini, aku ingin mengunjunginya. Lalu aku menelepon untuk menanyakan kapan aku bisa berkunjung. Waktu itu aku diberi tahu kalau nyonya Gong meninggal sehari sebelumnya. Sebagai orang yang pernah mengalami kebaikan hatinya, aku ingin memberi penghormatan terakhir. Bagaimana pun aku sungguh-sungguh menyukai nyonya Gong. Sampai di gedung itu barulah aku tahu kalau mereka ibu dan anak waktu membaca nama mereka di lobi. Aku tidak memikirkan apa-apa karena niatku memang untuk nyonya Gong, bukan mencari Lee Dowoo. Lagipula Lee Dowoo tidak ada di situ. Aku juga tidak mengenal wanita itu. Aku hanya berbicara dengan seorang laki-laki yang sebelumnya pernah kutemui. Tapi aku juga tidak tahu laki-laki itu siapa. Waktu aku hendak pulang wanita itu menahanku dan tanpa mengatakan apa-apa langsung menamparku. Kemudian mengata-ngataiku. Sebagian besar yang dikatakannya tidak kumengerti. Jadi aku pergi meninggalkannya. Aku malu sekali. Aku juga merasa bersalah..."

EPILOGDär berättelser lever. Upptäck nu