Bab 18

10 2 1
                                    

Selamat membaca 🌼

Varo merenung di ruang makan. Ia tidak habis pikir kepada istrinya. Kenapa istinya keras kepala sekali tidak mau memiliki anak? Padahal Varo ingin sekali mempunyai anak. 

Mereka pun ribut di kamar, setelah itu Varo keluar dari kamarnya dan meninggalkan Rania seorang diri. Ia sudah terlalu lelah menghadapi Rania yang sangat keras kepala sekali.

Ketika sedang merenung, tiba-tiba Alisa datang dan menawarkan ia secangkir teh. Namun, ia menolak dan mengusirnya agar tidak mengganggunya. 

Varo menyesali akan sikapnya kepada Alisa tadi. Tidak seharusnya ia melimpahkan kekesalannya terhadapnya. Ia melihat Alisa dari kejauhan nampak lucu dan sexy di matanya.

Mungkin Alisa memiliki tinggi 160 senti dan tubuhnya pun tidak seperti kebanyakan wanita hamil yang gemuk. 

Ketika sedang memperhatikan Alisa, dari arah dapur Alisa membawa mangkok berisi sayur asem untuk ia sajikan di meja makan.

Ia pun salah tingkah dan bangkit dari kursi meja makan menuju ruang tamu. 

Alisa pun tidak peduli dengan majikannya itu. Ia pun melanjutkan pekerjaanya lagi.

Rania dan Varo makan malam dengan diam. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun hanya makan saja.

Setelah makan malam selesai. Rania langsung menaruh piringnya di tempat cuci piring dan mencuci tangannya dan langsung kembali ke kamarnya.

Varo pun menyusul istrinya tersebut ke kamar. Ia harus menyelesaikan masalah ini agar tidak berlarut-larut.

“Rania aku mau ngomong sama kamu” ketika Varo sudah ada di dalam kamar.

“Yudah ngomong aja, tapi kalo kamu ngomongin soal anak lagi. Jawaban aku tetap sama. Aku tidak ingin mempunyai anak. Aku ingin fokus dulu ke karir. Aku sebentar lagi akan diangkat menjadi manajer, Mas. Tolong Mas ngertiin posisi aku. Posisi itu sudah sangat lama aku idamkan!” tekan Rania.

Varo mengela nafas lelahnya, bagaimana bisa Rania se keras kepala ini.

 “Rania, kamu dengerin aku dulu. Aku enggak ngelarang kamu untuk kerja tapi kamu harus ingat kodrat kamu juga. Kita sudah enam tahun menikah. Apa aku tidak boleh menginginkan anak dari rahim istriku sendiri.” bujuk Varo kepada istrinya.

“Tapi aku ga mau Mas, punya anak ribet. Belum nanti susunya, begadangnya, terus sakitnya pasca lahiran, Pokoknya aku ga mau titik!” tolak Rania.

“Kamu berfikir terlalu jauh, Rania. Aku hanya ingin kita punya keturunan punya penerus. Kehidupan pernikahan enggak harus terus menerus materi’kan. Mungkin hidup kita bisa lebih berwarna dan bermakna.” Varo merendahkan suaranya.

Rania pun tertawa mengejek kepadanya, “Jadi kamu mau bilang kehidupan kita sekarang sudah tidak bermakna, Mas. Gitu maksud kamu. Pokoknya aku engga mau. Sampai kapanpun enggak mau!” teriak Rania.

Varo sangat kecewa sekali dengan penolakan istrinya. Ia pun memilih keluar dari kamar mereka dan menuju ruang kerjanya.

Keesokan paginya Rania sudah menggeret kopernya keluar dari kamar bersamaan Varo keluar dari ruangan kerjanya. Varo tampak bingung mau kemana istrinya membawa koper di pagi buta seperti ini.

“Mau kemana kamu?” tanya Varo datar.

“Aku mau ke Singapura ada kerjaan disana selama tiga minggu. Aku lupa ngasih tau kamu semalam. Aku mohon sama kamu, Mas. Tolong mengerti kondisi aku. Aku cinta dan sayang banget sama kamu tapi aku enggak bisa mewujudkan keinginan kamu. Udah ya, jangan marah lagi sama aku. Pesawat aku jam delapan pagi, sayang. Jadi aku minta tolong sama kamu,bisa ga kamu anterin aku ke bandara hari ini” mohon Rania.

The Young marriage(Sudah Terbit) Where stories live. Discover now