2. Kepergian Alaia

313 28 9
                                    

Menjelang malam, angin yang bertiup semakin terasa menusuk permukaan kulit. Lili menatap dedaunan yang berjatuhan dari pepohonan di seberang tempatnya berdiri, kebanyakan sudah berwarna kuning kecokelatan. Matahari sudah sejak tadi turun dari singgasananya di langit, sekarang senja sudah berganti dengan cahaya rembulan yang mulai mengintip. Lili menggosok-gosokkan kedua telapak tangan ke lengannya yang diselimuti jaket jeans.

Tepat di depan gerbang kampusnya, gadis dua puluh tahun –yang juga seorang mahasiswi jurusan seni teater bertubuh mungil dan bermata kecil bulat– ini sudah hampir setengah jam menunggu. Berkali-kali dirapihkan poni yang hampir menutupi seluruh dahi. Juga menyisir dengan jari rambut cokelatnya yang sepanjang bahu.

Sekarang ia tersenyum sendiri, memukul kepala pelan dengan kepalan tangan kanannya sambil menggerutu, "Gadis bodoh!"

Tak sampai semenit kemudian, mata yang sudah mulai perih karena lelah menunggu, berubah berbinar-binar. Orang yang sejak tadi ditunggunya, kini sudah mulai terlihat. Dengan motor putih, mendekat ke arahnya.

"Kakak!" panggil Lili maju beberapa langkah, menghampiri pria bermotor putih yang berhenti sekitar tiga meter di depannya.

Pria ini membuka kaca helmnya. "Lili, maaf, kau sudah menunggu lama?"

Menggeleng ringan, "Tidak, Kak," dusta Lili sambil tersenyum.

Pria ini terlihat menurunkan tasnya dari punggung, ia mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Sebuah muffler berwarna merah, yang langsung ia lingkarkan di leher Lili.

Lili mengerjap dan terdiam kaku. Menatap mata Lian dari dekat, mata teduh yang terlihat sayu ini ia kagumi sejak dulu, mata itu seakan ikut tersenyum ketika bibirnya tersenyum. Mata yang menurutnya begitu indah untuk dipandang.

Lampu-lampu jalan mulai menyala satu per satu, kini mereka diselimuti malam yang di taburi cahaya lampu di pinggir jalan. Leher Lili sudah tertutup rapat dengan muffler, Lian pun mengambil sebuah helm lain yang sejak tadi di ikat di jok motornya. Dengan kedua tangan, dengan lembut memakaikan helm berwarna putih susu itu ke kepala Lili.

"Terima kasih, Kak," gumam Lili dengan senyuman. Tampaknya Lian tak mendengar, karena ia langsung mengenakan tasnya lagi dan menyalakan mesin motor.

Lili pun segera naik ke atas motor, mengulurkan kedua tangannya kedepan. Memeluk pinggang Lian dengan erat.

Tersenyum menanggapi tingkah manja adiknya, Lian pun mulai menancap gas motornya, berjalan menjauhi kampus tempat Lili belajar akting, menuju rumah mereka.

Ketika Lian menambah kecepatan laju motornya, Lili pun mempererat pelukannya. Menaikkan kaca helm yang menutupi wajahnya, memandangi jalanan kota Jakarta di sekitarnya. Semakin malam menjadi indah, karena lampu jalan, lampu hias pepohonan di taman di pinggir jalan dan lampu dari neon boks dari toko-toko sekitar tampak bergemerlapan di bawah malam tanpa bintang.

Jalan raya yang lengang pun membuat angin malam semakin terasa, bersyukur ia berada diatas motor bersama Lian yang membuatnya 'hangat'. Lili memejamkan matanya, merasakan keindahan malam di belakang punggung Lian.

Lili dan Lian memang kakak beradik, namun mereka bukan saudara kandung. Mereka bisa dikatakan sebagai anak yatim piatu, karena sampai saat ini tak mengetahui keberadaan orang tua mereka. Sejauh ini yang mereka tahu hanya Rumah Bunga Mawar, sebutan untuk panti asuhan milik Ibu Mawar tempat mereka dibesarkan, dan tempat mereka tinggal hingga saat ini. Di sanalah rumah mereka.

***

Sekarang jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Selesai mengerjakan tugas kuliahnya, Lili merapihkan buku diatas meja belajarnya. Perutnya terasa lapar, ia langsung berpikir untuk makan mie instan, tapi sesegera mungkin ia mengurungkan niatnya ini sudah hampir tengah malam dan makan mie sekarang bisa membuat berat badannya naik dengan pesat. Sedangkan ia berada di usia yang perlu menjaga bentuk tubuh.

The StoryWhere stories live. Discover now