13. Pertemuan

136 11 0
                                    


Lian berharap ia merasa lelah berjam-jam bolak-balik di sekitar air mancur bundaran Hotel Indonesia. Namun ia justru mendengus bosan. Menjadi mati rasa tak membuatnya lelah sedikit pun, atau mungkin lebih tepatnya hidup sebagai roh membuatnya tak merasakan yang semestinya dirasakan manusia, sungguh membuatnya serba salah.

Ia bergerak bangun dari tempat duduknya, beranjak pergi menjauhi tepi kolam air mancur. Mulai melangkah sembarang arah sampai akhirnya menginjak trotoar di pinggir jalan. Entah berapa kilo sudah hari ini ia berjalan, dan kini kembali lagi ke jalan besar yang juga salah satu akses utama ke Rumah Bunga Mawar.

Dari kejauhan ia melihat sebuah mobil berwarna putih melaju. Tanpa pikiran apapun Lian bergerak maju beberapa langkah. Berhenti di tengah jalan, menatap mobil yang semakin mendekat tepat ke arahnya itu. Penasaran sendiri apa yang akan terjadi, jika mobil ini sampai di hadapannya, apakah ia akan mati untuk kedua kalinya, atau menembus mobil seperti di film-film. Dan ketika mobil itu semakin mendekat, Lian memejamkan matanya.

Di dalam mobil, dengan panik Leo menginjak rem mobilnya dalam-dalam. Berkat safety belt yang menahan tubuhnya, kepalanya tak sampai terbentur kemudi. Matanya mengerjap, kemudian melotot, memandangi jalanan di depan mobilnya, garis-garis wajahnya mengeras dan tegang. Nafasnya bahkan menjadi sesak karena sangat kaget.

Leo kemudian melepas safety belt-nya, membuka pintu mobil dan turun, langsung mengitari bagian depan mobil. Dengan hati-hati memandangi permukaan jalan yang terkena sinar dari lampu depan mobilnya. Tak ada apapun di sana.

"Tadi jelas ada seseorang," gumamnya bingung, lalu berjongkok melongok ke kolong mobil untuk memastikan. Benar-benar tak ada apapun, ia kembali berdiri dan melihat ke berbagai arah jalanan di sekitar. Tak ada apapun juga, tak ada tanda-tanda sebuah benda tertabrak dan terpental jatuh sekitar mobilnya. Leo bergeleng dan menghapus keringat yang tak terasa telah mengalir di dahinya.

Tepat di samping Leo, Lian berdiri tercengang. "Kau, tadi melihat seseorang?" ujarnya, bertanya pada Leo. "Tidak, kau tadi melihatku?" koreksinya buru-buru. Tapi jelas tak ada jawaban dari Leo, karena Leo tak bisa menangkap keberadaan siapa pun selain dirinya sendiri.

Tangan kirinya memegangi pinggang sementara tangan kanannya menggaruk-garuk dahinya yang tak gatal sama sekali. "Benar-benar aneh." Sekali lagi ia melongok ke kolong mobilnya dan sekali lagi ia menggedikkan kepala karena tak ada apapun di sana.

"Hei! Kau benar-benar bisa melihat ku? Barusan kau melihatku?" tanpa sadar Lian mengikuti Leo masuk ke dalam mobil, segera bergerak ke kursi sebelah sebelum Leo menutup pintu mobil. Masih berusaha keras kalau-kalau benar orang ini bisa melihat keberadaanya, paling tidak ia memiliki seseorang untuk diajak bicara.

Leo menghembuskan nafasnya dari mulut, menenangkan diri terlebih dahulu baru kembali menyalakan mesin mobilnya. Apa ini pengaruh minuman tadi, atau pengaruh obat penenang yang baru tadi sore ia mulai minum, ia coba menduga-duga.

Lian terdiam, memandang kosong ke jalanan di depan matanya. Seakan berada di sebelah orang yang tak d kenalinya, di dalam sebuah mobil yang tengah melaju entah ke arah mana, bukanlah hal yang harus dipikirkan.

Ia kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri, dengan keadaannya. Tentang tujuan dan alasan juga guna dirinya, yang sudah jelas-jelas meninggal dunia namun masih berkeliaran seperti ini. Ia ingin menyerah, karena tak ada yang bisa diingatnya. Ia tak bisa mengingat apapun bahkan bagaimana cara ia meninggal dunia.

Lian kemudian menengok ke arah Leo yang terdiam sambil terus mengemudikan mobilnya dengan serius, "Pria ini tampan," gumamnya kemudian. "Dan ia masih hidup sebagai manusia," tambahnya. "Normal," tambahnya lagi, semakin membenci keadaannya.

Puluhan menit berada di samping Leo, Lian mulai berpikir kenapa ia mengikuti orang yang sama sekali tak dikenalnya? alasan logisnya, Lian pun tak tahu. Yang jelas ia penasaran, ia ingin mencari tahu apakah orang ini benar-benar bisa melihatnya. Dan apakah hal itu akan membantu jika benar-benar terjadi. Di samping itu, ada magnet tersendiri yang membuat Lian terus mengikuti pria ini, seakan suatu energi semangat berdatangan masuk ke dalam tubuhnya yang semula tak bisa merasakan apapun, menjadi lebih bertenaga. Pemikiran bodoh yang membuatnya semakin penasaran.

Sekarang keduanya memasuki sebuah rumah, yang dipagari tembok tinggi dan berpintu kayu. Berjalan menaiki tangga yang terbuat dari batu-batu alam. Lian bisa melihat taman kecil yang diisi bangku dan meja kayu ada di sebelah kirinya, dengan rumput hijau muda yang terlihat segar disinari cahaya lampu taman. Dan ia semakin melangkah naik, membuntuti Leo yang kini sedang membuka pintu dan masuk kedalam rumah.

Ketika memasuki rumah berlantai dua bernuansa putih ini. "Waa.." Lian berseru kagum. Begitu memasuki pintu, ia langsung disambut dengan tiga anak tangga untuk membawanya ke ruang tamu minimalis yang permukaan lantainya memang lebih rendah. Di sana ada tiga sofa putih mengitari sebuah meja kaca, di alasi karpet berbulu wana putih tulang yang bersih terawat. Leo terlihat mengganti sepatu kets-nya dengan sandal rumah.

Sambil melangkah melewati ruang tamu, Leo membuka jas-nya lalu melemparkannya sembarang ke salah satu sofa. Berhenti mengikuti Leo yang terus berjalan dan kini masuk ke ruangan lain, Lian terdiam memperhatikan sebuah aquarium berisi ikan-ikan kecil yang 'terselip' di dalam tembok, di belakang salah satu sofa.

Tak berapa lama Leo terlihat lagi, kini ia hanya menggunakan kaus dalam hitam dan menggenggam segelas air mineral di tangannya. Leo tak kembali ke ruang tamu, ia berjalan menjauh dan menaiki tangga naik ke lantai dua, letak kamarnya berada. Sedangkan Lian, mengutuk dirinya sendiri yang baru sadar tak tau sedang atau mau berbuat apa, akhirnya memilih berlari menyusul Leo dan mengikutinya lagi sampai ke dalam kamar.

Kamar Leo berukuran sedang dengan tempat tidur yang cukup besar. Sama seperti di ruang tamu, kamarnya juga bernuansa putih. Tak jauh dari balik pintu, di pojok sebelah kiri ada sebuah rak berwarna putih, berisi beberapa deret buku dan CD, juga beberapa kaktus kecil di dalam pot yang juga berwarna putih.

Tak sampai satu meter dari samping rak, sebuah LCD TV berukuran besar tergantung di tembok. Di bawahnya ada sebuah rak kecil, kali ini berwarna cokelat kayu, berisi DVD player dan perangkat lainnya. Semuanya terlihat mewah dan elegan.

Leo sekarang duduk di pinggir kasur dan mengeluarkan sebuah botol dari dalam laci lemari kecil di samping tempat tidurnya. Tadi pagi ia sudah meminum dua butir obatnya, dan sekarang menjelang tidur ia menelan dua butir lagi.

Sambil terus menebar pandangan ke seluruh sisi kamar, Lian duduk di salah satu sofa kecil di samping sebuah meja kerja. Sama seperti sebelumnya, ia seakan tak memusingkan apa yang sedang dilakukan. Tak sadar kalau dirinya terjebak di tempat asing tanpa petunjuk, Lian justru kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang