10. Masih Di sini

152 15 0
                                    

Leo merapihkan berkas-berkas di atas meja kerjanya. Kebanyakan di antaranya adalah profil para model dan artis yang ada di bawah naungan management-nya. Telepon di atas mejanya berbunyi, ia segera mengangkatnya dengan tangan kiri.

"Direktur, ada Nona Indi ingin bertemu dengan Anda."

Memejamkan mata, Leo terdiam, menahan untuk tak menghela nafas karena tiba-tiba memikirkan hal yang melelahkan. "Tolong katakan aku sedang tidak di tempat," sahut Leo langsung menutup telepon.

"Maaf, Direktur tidak di tempat," tutur sekretaris Leo sungkan, wanita di depannya ini bukan orang yang bisa ia perlakukan asal-asalan. Wanita berambut panjang berombak dengan badan tinggi kurus ini teman dekat Leo.

Indi membuka kaca mata oversize hitam yang dipakainya, dan menatap sekretaris Leo –yang terlihat gugup ini– dingin. "Apa dia memintamu untuk membohongiku?" tampak sedikit amarah memercik di balik sikap anggunnya.

"Y-ya?" sekretaris yang mejanya ada di depan ruangan Leo ini terlihat gusar. Ia tahu, percuma untuk berbohong. Toh percakapannya di telepon tadi pasti terdengar, sepelan apapun ia mencoba menyembunyikan suaranya, wanita ini sejak tadi ada tepat di depannya dan mendengarkan.

Tanpa menunggu penjelasan apapun. Indi langsung merangsek membuka pintu ruangan Leo. Menatap Leo yang sedang berdiri di depan meja kerjanya, dari ambang pintu.

"Apakah aku tak dipersilahkan untuk masuk?" ujarnya membuat Leo terpojok.

∞ ♥ ∞

Berdiri dengan tatapan kosong, Lili tak menangis sedikit pun. Air matanya mungkin sudah habis karena menangis semalaman. Matanya bengkak dan wajahnya pucat. Dengan pakaian serba hitam, ia berdiri di depan tanah tempat Lian dimakamkan.

Hampir semua orang yang mengenal Lian hadir di pemakaman ini. Termasuk Risy yang besok akan berangkat ke Bali untuk mengisi liburan setelah ujian. Ibu Mawar memeluk bahu Lili. Doa-doa dipersembahkan untuk Lian yang jasadnya sudah terbujur diam di dalam tanah. Tangan Lili bergetar saat beberapa orang mulai meninggalkan pemakaman. Ia tahu ini juga saatnya ia untuk pergi, namun ia tak mau. Ia tak mau meninggalkan Lian sendirian disini, di dalam tanah lembab ini. Di tempat sesepi ini.

Gerak-gerik Risy semakin aneh, ia gusar dan tak berani mengatakan apapun. Hampir semua orang telah pergi, Ibu Mawar pun sudah dituntun masuk ke dalam mobil. Risy sekarang berdiri di samping Leta yang tengah mengawasi Lili dalam diam, raut wajah Risy semakin terlihat gusar dan kini menjadi panik. Tak ada yang menyadari kalau bibirnya bergetar dan matanya kini melotot. "Kak Lian," ucapnya dalam hati.

Lili membalikkan badannya, Leta yang pertama kali ditatap. Ia berjalan mendekat. "Apa kabarmu, kak? Baik-baik saja?" sindirnya dengan mata menghakimi.

Leta hanya diam, ia tak mengerti mengapa Lili seakan sangat membencinya. Padahal Lili pasti tak tahu sama sekali tentang pertengkarannya dan Lian waktu. Lebih baik diam daripada salah bicara, karena dia tahu Lili sedang mengalami kesedihan yang teramat sangat.

Melihat Leta yang terdiam santai, Lili tersenyum sinis. "Berbahagialah, Kak, karena Kak Lian mencintaimu." Lili kira ia sudah tak mampu menangis lagi. Tapi ternyata mengucapkan kalimat ini membuat hatinya kembali teriris, ia merasakan perih di matanya. Leta tetap terdiam, ia bahkan tak mengerti apa yang Lili maksud, ia tak berniat menyahut apapun.

Risy tidak memperhatikan Lili dan Leta di hadapannya, matanya justru menerawang ke arah lain. Memandang seorang pria yang juga sedang melihat ke arah mereka. Risy mengigil, ia berusaha keras agar giginya tak bergemeletuk.

"Lili ," bibirnya gemetar, "Kak Lian masih di sini," ucapnya, saat Leta sudah tak terlihat dan Lili mulai melangkah menjauh.

Hal seperti ini memang biasa terjadi padanya setiap kali menghadiri sebuah pemakaman, tapi tak pernah terasa seberat saat ini. Ia tak tahu bagaimana cara mengatakan pada Lili secara langsung, bahwa sejak tadi sosok Lian masih mengawasinya. Lutut Risy jatuh menyentuh tanah, tubuhnya lemas tak bertenaga. Dipandanginya sosok Lian yang melewatinya, berjalan mengikuti Lili, tepat di belakangnya.

Di sepanjang jalan, sepadangan mata Lili, tak ada satu pun kendaraan yang melintas. Di samping kirinya tanah tinggi perbukitan, sisi paling ujung dari tanah pemakaman. Ia berjalan di trotoar di sisi kanan jalan. Di samping kanannya ada pagar besi setinggi pinggang orang dewasa, yang membatasi daratan tempatnya berpijak dengan sungai yang ada jauh di bawahnya. Terbentang luas di sisi timur, disinari matahari yang sedikit tertutup awan. Hari ini tak terik, udara lembap berangin.

Menghentikan langkahnya sejenak, untuk sekali lagi memandang keperbukitan tempat Lian dimakamkan. "Selamat tinggal, Kakak." Air mata kembali menetes di pipinya. Lili menundukkan kepalanya menatap aspal jalanan. Ia kembali melangkah meskipun sangat berat.

Kini semua kejadian yang telah berlalu seakan berputar kembali dalam ingatannya, Lili berharap ia bisa menghapus semua ingatan menyakitkan, namun ia tak ingin menghapus kenangan indah, ia tak mau menghapus Lian dari otaknya. Jadi mungkin ia memang harus terus mengingat semua hal, semua tentang Lian, meskipun terasa menyakitkan, meskipun membuatnya hampir gila.

"Tidak apa, Kak, biarkan aku yang mengingat semuanya." Hati Lili berbicara.

"Mulai saat ini kau akan melupakan segalanya, suatu saat nanti jika kita kembali bertemu, kau akan menyapaku sambil tersenyum gembira. Aku akan menanti saat itu tiba, meski kini aku merasakan perih seakan seluruh kulit tubuhku teriris."

Lili yakin jika saat itu tiba, tak akan ada lagi air mata. Karena perpisahan ini tak tertanda dan tak ada yang menginginkan. Lian tak akan mengingat apapun, karena hanya Lili yang merasakan sakit ini. Tak ada ucapan selamat tinggal yang Lian ucapkan, karena itu ia yakin mereka pasti akan bertemu lagi.

Ia kembali berhenti, tangannya bertumpu menggengam pagar, menahan semua sakit yang ia rasa. Mata bengkaknya memandang sungai yang terhampar di bawah jembatan. "Mengapa aku tak tahu apapun, kak," teriaknya lirih, nafasnya tersengal tangis. "Jika aku tahu ini akan terjadi aku akan menangis sepanjang waktu, hingga aku siap untuk menghadapinya, hingga aku jadi bagian dari saat-saat terakhirmu."

Ia mengepal tangan kanannya dan memukul ujung pagar besi yang tadi digenggamnya. Mengalir darah di buku-buku punggung tangannya, namun tak ada sakit yang ia rasakan selain di hatinya.

Ia mengangkat tubuhnya kembali berdiri tegak, "Tapi aku bukan orang yang Kakak cintai." Kaki gemetarnya kembali melangkah. "Aku tak bisa melupakan bibir itu, yang memanggil namaku untuk pertama kalinya saat kita bertemu. Mata bersinar yang selalu menatapku. Tidak bisakah beri aku kesempatan sekali lagi. Aku berjanji akan menjadi lebih baik, aku akan mencintaimu lebih dan lebih. Kita berjalan bersama, kita tertawa dan menangis bersama. Kakak, kau satu-satunya untukku, bagaimana bisa aku melupakanmu."

Lian memang masih ada, yang Risy lihat bukan hal yang salah. Kini ia berjalan di belakang Lili. Masih mengenakan pakaian yang sama seperti kemarin, wajahnya pucat.

"Apa yang sedang terjadi?" pertanyaan ini yang sejak tadi memenuhi pikirannya. Karena ia sendiri melihat dengan jelas, bagaimana tubuhnya –yang tak bisa diselamatkan lagi– itu dimakamkan beberapa waktu lalu, tapi mengapa ia masih ada di sini? Melihat dengan jelas keadaan Lili yang merasa tersiksa.

Ia hanya terus mengikuti Lili yang kenyataannya tampak tak bisa melihat keberadaannya. "Lili!" serunya, namun tak terdengar apapun keluar dari mulutnya.

Ia ingin sekali memeluk punggung Lili yang ada di hadapannya. Tapi sayang ia tak bisa melakukannya, tangannya terasa tak berdaging dan tak bertulang. Tak bisa menyentuh apapun, bahkan menyentuh dirinya sendiri pun Lian tak bisa.

"Lili!" panggilnya sekali lagi, ia sendiri tahu ini sia-sia. Lili tak bisa mendengarnya. "Aku di sini, Lili!"

∞ ♥ ∞

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang