12. Kerinduan yang Menyiksa

150 10 0
                                    


Aula Rumah Bunga Mawar seketika menjadi senyap, beberapa orang yang semula sibuk dengan kegiatannya ikut berkumpul memperhatikan Lili yang berdiri di depan Ibu Mawar.

"Berhenti?" pekik Mawar kaget. Baru saja Lili mengatakan bahwa ia sudah memberikan surat keterangan berhenti kuliah ke bagian administrasi di universitasnya.

"Iya." Angguk Lili. Ekspresi wajahnya terlihat kelewatan tenang. "Aku juga ingin hidup sendiri mulai sekarang," ucapnya ringan, seakan Ibu Mawar yang melongok kaget di depannya bukanlah siapa-siapa.

"Kau ingin keluar dari sini? Kau ingin meninggalkan Ibu?" ratap Ibu Mawar melankolis, berharap Lili menatapnya dan mengurungkan niat.

"Tak ada alasan untuk ku tetap berada di sini," sahutnya singkat lalu membungkukkan badannya, "Aku pamit. Terima kasih atas semua yang kau berikan selama ini. Aku akan membalasnya semampuku." Ia kembali membungkukkan badannya, mengangkat semua tasnya yang telah siap dibawa, dan berjalan ke arah pintu.

"Kau ini anakku. Sama seperti Leta dan Lian." Ucapan Ibu Mawar menahan gerak Lili sejenak, ia diam di ambang pintu.

Tanpa menengok Lili menyahut, "Secara hukum, mungkin aku memang anakmu. Tapi kenyataannya, aku ini sebatang kara." Selesai berkata ia kembali melangkah pergi. Lili sudah memikirkan ini matang-matang. Ia tak akan tinggal di Rumah Bunga Mawar lagi. Disini terlalu banyak kenangan tentang Lian, dan itu menyakitkan.

Berjalan ke arah pagar, melewati taman tempat ia bermain dengan Lian dan Leta semasa kecil. Kenangan itu kini terbayang sangat jelas. Pohon yang dulu sering dipanjat Lian kini sudah menua dan merapuh. Kenangan semakin mencekik perasaannya.

Terbayang saat pulang sekolah, Leta menaiki sepeda merah muda-nya dan Lili di kursi penumpang sepeda Lian, memeluk pinggangnya dan selalu begitu hingga mereka beranjak dewasa dan Lian membeli motor pertamanya. Kini, hal indah yang selalu dilakukan setiap hari itu takkan pernah terulang lagi, Lian sudah pergi. Menangis seperti apa pun tak akan bisa mengembalikannya lagi.

"Maaf, Kakak, aku harus meninggalkan tempat ini. Tanpamu, tempat ini hanyalah penjara kenangan. Dan aku tak sanggup," ujarnya dalam hati, melewati gerbang Rumah Bunga Mawar. Sekali lagi menengok untuk terakhir kali "Sealamat tinggal," ucapnya lemah, kemudian membungkukkan badannya memberi hormat pada bangunan tempatnya dibesarkan.

"Lili! Kau?" Leta tak melanjutkan kata-katanya, ia memandang ke semua tas yang Lili jinjing. Ia baru saja pulang kerja dan melihat Lili dari kejauhan. Segera mempercepat langkah dan sampai di hadapan Lili yang terlihat tak acuh dengan kehadirannya.

Lili tak menyapanya, ia hanya memandangnya datar, mengangguk hormat pada Leta dan kembali melangkah.

"Hei! Kau mau kemana?" Leta menahan pergelangan tangan Lili dan langsung dihempas ke udara. "Kau belum menjawab, kau mau kemana?" desak Leta disambut helaan nafas oleh Lili, seakan pertanyaan Leta sangat membosankan di telinganya.

"Aku tak ingin tinggal disini lagi," sahutnya dingin.

"Apa kau bilang? Tapi kau tetap kuliah, kan?"

"Aku sudah keluar."

"Apa?" pekik Leta, matanya melotot kaget.

Melihat ekspresi wajah Leta, Lili justru tersenyum sinis. "Tak usah memikirkan tentang aku. Lebih baik Kakak memikirkan bagaimana cara mencari uang dengan cara yang lebih baik. Pekerjaan malam yang kau lakukan itu menjijikan."

Seketika Leta mematung, yang baru saja ia dengar membuatnya hampir serangan jantung. Bola matanya bergerak ke segala arah. Menenangkan dirinya yang mendadak gemetar dan ketika sadar Lili sudah pergi dari hadapannya.

"Lili! Kau tak bisa seperti ini! Lili!" panggilnya kemudian. Kepalanya tiba-tiba pusing. Karena satu hal, Leta tak pernah berhenti menyayangi Lili, dan karena satu hal ini juga, Lili tak boleh membenci Leta. Hal yang hanya ia sendiri yang tahu dan tak tahu bagaimana cara memberitahu Lili tentang hal ini.

The StoryWhere stories live. Discover now