16. Takdir

158 12 3
                                    

Masih tak percaya, Lian terus menatap gadis kecil yang duduk di sebelahnya. Anak ini menengok dan menertawakan ekspresi wajah Lian yang menurutnya aneh.

"Kita memang sama," ujarnya kembali tertawa, Lian masih tak mengubah ekspresi wajahnya.

Setelah berkedip beberapa kali kini Lian mengangkat kepalanya, menengadah menatap langit. "Jika semua ini mimpi, tolong bangunkan aku." Mengusap wajahnya sekali.

"OK!" Lian menepuk tangannya sekali, memutar posisi duduknya persis menghadap gadis kecil bersepatu sekolah di sebelahnya.

"Bagaimana kau mengenalku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Nada bicara Lian sedikit tinggi, seperti tak sedang berbicara dengan anak kecil, padahal biasanya Lian sangat lembut terhadap anak kecil. Tapi anak yang satu ini berbeda, sejak awal Lian merasa was-was berada di sebelahnya.

"Kau tak ingat?" anak ini balas bertanya, "AH, tentu saja pasti kau tak ingat." Menjawab pertanyaannya sendiri.

"Lalu?" Lian menginginkan pertanyaannya dijawab.

"Alaia." Mengulurkan tangannya pada Lian yang menatap tangan pucat di hadapannya dengan ragu.

"Lian." Lian melotot kaget, tangannya bisa menjabat tangan Alaia dengan begitu mudahnya. "K-Kau?" ucapnya terbata-bata.

Alaia menarik tangannya dan tersenyum, "Sudah ku bilang, aku sama dengan mu."

"Kau sudah meninggal?" segera menutup mulutnya yang terbuka lebar.

Alaia mengangguk santai, "Seminggu sebelum kematianmu," jawabnya.

***

Cangkir bening berisi teh hijau di hadapannya mengepulkan asap yang menyerbak wangi. Lili menatap wanita di depannya yang tadi baru memperkenalkan dirinya dengan ramah. Indi, tengah menaruh sepiring kecil macaroon di sebelah cangkir tehnya, Lili menundukkan kepalanya sedikit untuk mengucap terima kasih.

"Jadi," Indi duduk setelah menaruh cangkir teh untuknya di atas meja, "di mana kau tinggal? Apakah jauh dari sini?" Ia melirik tak kentara ke beberapa tas yang Lili bawa.

"Cukup jauh," dusta Lili, menaruh kedua telapak tangannya di atas lutut "Di Bandung," sambungnya buru-buru.

"Aaaa." Angguk Indi, "Lalu apa yang kau lakukan di Jakarta? Mengunjungi keluarga?" ekspresi wajahnya kelihatan cukup bersahabat.

"Ya?" mata Lili menyembunyikan kebingungan.

"Ah, maaf." Indi tertawa kaku. "Tak harusnya aku lancang bertanya macam-macam padamu."

Lili menyunggingkan senyum kikuk lalu menyesap segelas teh hijau-nya. Hangatnya teh menjalar ke kerongkongan dan perutnya yang belum di isi apapun selama hampir 15 jam terakhir.

"Kau punya keluarga disini?" Indi mengambil macaroon-nya.

"Tidak ada." Lagi-lagi Lili berdusta, meskipun memang dalam benaknya ia mengakui mulai kemarin ia memang benar-benar tak punya keluarga.

"Kalau begitu kenapa kau tidak tinggal di sini?"

"Ya?" lagi-lagi Lili dibuat bingung dengan perkataan Indi.

"Tinggal bersamaku. Kebetulan kan kau tidak punya keluarga di sini, aku pun sedang mencari orang yang bisa menjadi temanku, ya menjaga rumah, atau membantuku merapihkan rumah. Tapi bukan sebagai pembantu," Indi menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya di udara. "maksudku, aku kan jarang di rumah. Pekerjaanku adalah model, pekerjaan yang tidak mengenal waktu kapan libur dan kerja." Terangnya berusaha meyakinkan Lili, yang langsung paham mengapa Indi terlihat sangat tinggi dan cantik.

The StoryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt