5. Pengakuan

175 14 3
                                    

"Happy birthday to you, happy birthday to you. Happy birthday Kak Lian, happy birthday to you.."

Tepat pukul satu malam, sesampainya di Rumah Bunga Mawar, Lili langsung mempersiapkan kue tart untuk Lian, diam-diam masuk ke dalam kamar Lian dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Lian yang sedang tidur, terbangun dan baru menyadari bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Tersenyum dan mengangkat tubuhnya dari kasur, lalu duduk di pinggir tempat tidur sembari mengucak-ngucak matanya.

Lili berlutut di hadapan Lian, "Ucapkan doa dan tiup lilinnya," serunya sambil menyodorkan kue tart dengan lilin yang menyala di atasnya itu pada Lian.

Lian segera memejamkan mata sejenak, membukanya lagi dan meniup semua lilin yang ada di atas kue ulang tahunnya. "Terima kasih, Lili." mengacak-acak rambut Lili, membuat Lili tersenyum senang.

Tak sengaja mata Lili menengok ke arah meja kecil di samping tempat tidur Lian. Ada sebuah jam tangan berwarna silver tergeletak di sana. Senyum di wajahnya menghilang. Seakan semua perasaan senang di hatinya mendadak memuai.

"Tapi" ucap Lian, "Apa kau sendirian?" tanyanya, melirik ke arah pintu.

"Apa Kakak mencari Kak Leta?" Lili berubah sinis.

"Ya." angguk Lian kontan, tak menyadari raut wajah Lili. "Di mana dia?"

"Aku tak tahu," sahut Lili singkat, menaruh kue tart di tangannya ke atas meja. Matanya melirik ke jam tangan yang sekarang berada di samping kue. "Apa ini hadiah dari Kak Leta?" tudingnya ke jam tangan yang membuat mood-nya berantakan itu.

Lian mengangguk ringan, "Tadi siang saat aku pulang sudah ada di atas meja."

Lili langsung terdiam. Beberapa saat kamar Lian sepi tanpa suara. "Kakak, aku" ia kembali terdiam sejenak, terlihat sulit melanjutkan ucapannya. "Aku mau mengakui sesuatu," sambungnya terbata-bata, sambil menunduk dan tak berani menatap mata Lian. Lian menyimak dan menunggu Lili menyelesaikan ucapannya. Tapi Lili justru kembali terdiam. Dan membuat Lian menatapnya khawatir.

"Bicaralah," bisik Lian sembari membungkukan tubuhnya sedikit, menatap wajah Lili dari dekat. Samar-samar terlihat tangan Lili gemetar karna gugup.

"Aku mencintai Kakak," ucap Lili sesaat setelah mengangkat wajahnya.

Lian tertawa, mengangkat tubuhnya kembali berdiri tegak. "Ya ampun, manisnya." Menjulurkan tangan mencubit gemas pipi Lili. "Kakak juga mencintaimu, Lili ."

Bola mata Lili bergerak bingung, "Bukan, bukan itu yang aku maksud," tukas Lili, membuat Lian berhenti tertawa dan menaikkan sebelah alisnya.

"Aku." Lili kembali terlihat gugup, "Aku mencintai Kakak. Aku mencintai Kakak seutuhnya sebagai pria. Bukan Kakak sebagai saudara laki-lakiku." Kata-kata yang tertahan selama ini meluncur begitu saja dari mulutnya, membuat jantungnya berdegup kencang.

Tawa di wajah Lian kini hilang sepenuhnya, seketika matanya melebar, "Jangan bercanda, Lili . Tidak lucu."

"Aku tidak bercanda, Kak!" sanggahnya. "Aku menyukai Kakak, bukan sebagai adik. Tapi sebagai wanita!" cecar Lili tak terima pengakuannya dianggap lelucon.

"Kamu jangan aneh-aneh!" bentak Lian.

"Tidak, kak!" Lili balas berteriak, ia hampir menangis.

Sejenak terdiam mengatur nafasnya Lian kembali menatap Lili lekat, "Apa kau sudah gila?" nada suara Lian lebih rendah dari sebelumnya. "Sudahlah, kembali ke kamarmu sekarang." Perintah Lian telihat tak ingin melanjutkan pembicaraan.

Lian kemudian mengulurkan tangannya, menggenggam kedua bahu Lili, berusaha mengarahkan Lili agar melangkah ke arah ke pintu, secara halus meminta Lili untuk ke luar dari kamarnya. Lili bergeming, tak bergerak sedikit pun. Bertahan meski Lian berusaha menggeser tubuhnya.

"Aku tak mau keluar, Kak," ucap Lili dengan tatapan mata kosong.

"Kembali ke kamarmu!" desak Lian.

"Aku tak mau!" teriak Lili, Lian segera menarik tangannya dari bahu Lili dan memegang dahinya frustasi.

"Cepat keluar!" tegasnya, tak mau memandang wajah Lili.

"Kakak kenapa begini? Apa karena Kak Leta?"

Lian memelototinya, untuk pertama kalinya Lian menatapnya dengan marah seperti ini. "Kakak, Kak Leta tak seperti yang Kakak pikir! Kak Leta bukan perempuan baik-baik, Kak! Kak Leta menjijikan!" tampaknya emosi sudah menyelimuti seluruh pikiran Lili. Ia tak memikirkan lagi kalimat seperti apa yang ia ucapkan.

Satu bunyi keras, membuat Lili terdiam. Bunyi yang berasal dari pipinya sendiri, pipi kanannya yang barusan di tampar Lian cukup keras. Wajahnya terasa perih dan panas, namun hatinya jauh lebih sakit ketimbang wajahnya. Dadanya serasa akan meledak, rasa sakit yang tiba-tiba mencekiknya ini sangat menyiksa.

"Kenapa, Kak? Kakak suka Kak Leta?" teriak Lili, tak bisa lagi membendung gemelut perasaan di hatinya, ia menangis. Ia kecewa.

Lian tak pernah semarah ini. Bahkan ketika Lili ketahuan bolos dari sekolah, ketika Lili ketahuan mencoba rokok dan minum alkohol sekalipun. Lian tak pernah semarah ini apalagi memukulnya. Namun mengapa justru di hari yang paling ia tunggu-tunggu kedatangannya ini, Lian, yang paling ia cintai dan ia butuhkan dalam hidupnya. Menorehkan kesedihan yang dalam, dan menatapnya bengis seperti ini.

Saat Lili menangis karena apapun yang membuatnya sedih dan kecewa. Sekali pun tak melakukan kesalahan, Lian akan tetap memeluknya dan meminta maaf. Namun tidak untuk kali ini, Lian hanya bergeming. Sekali pun ia baru saja memukul Lili dan membuatnya menangis. Tak ada permintaan maaf yang keluar dari mulutnya, Lian seakan tak ingin mempedulikan Lili lagi. Hingga Lili akhirnya keluar dari kamarnya, ia pun tetap terdiam seribu bahasa.

∞ ♥ ∞

Alaia baru berusia dua belas tahun. Ia tak tahu ternyata ada tempat lain di samping kehidupan dan kematian. Ia berpikir mungkin umurnya belum cukup, mungkin ia meninggal terlalu cepat, karena itu ia tak mengetahui tentang hal yang satu ini. Barang kali orang dewasa mengetahui hal ini. Ia yakin kalau ia sudah dewasa ia pasti tahu tentang hal ini. Hal yang dialaminya sekarang.

Ia sudah mati, tubuhnya sudah remuk redam saat kecelakaan kemarin. Namun ia tak berpindah kehidupan –seperti yang ia ketahui harusnya dialami orang yang sudah mati– dan sekarang masih bisa berjalan keluar pekarangan rumahnya. Ia tak mampu mengingat apapun, yang ia tahu sekarang adalah ia ada untuk menepati janjinya untuk melakukan apapun agar Leo bahagia.

Sekarang ia terdiam di depan gerbang rumahnya, bertolak pinggang bingung. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia harus membahagiakan Leo, tapi bagaimana caranya. Itu yang sampai saat ini masih belum Alaia temukan jawabannya.

∞ ♥ ∞

The StoryWhere stories live. Discover now