25. Kenyataan

116 8 0
                                    


Lili memandangi jadwal acara yang ditempel di white board, ia sekarang sudah bergabung dengan beberapa peserta lain yang lolos audisi. Di ruang rapat utama gedung XY Entertainment yang cukup luas. Dengan kursi berlapis kain putih yang berbaris rapih di belakang meja-meja panjang yang juga dilapisi taplak putih. Ruangan berwarna putih cerah ini semakin kelihatan megah dengan guci-guci berisi bunga segar yang di letakkan diatas meja. Di samping gelas-gelas goblet berisi air mineral dihadapan mereka.

Di sebelahnya duduk seorang pria tinggi dengan rambut kriting dan kaca mata tak berkaca, hanya frame-nya saja. Tersenyum memperkenalkan dirinya yang ternyata bernama Ali. Lili pun membalas setiap orang yang menyapanya dengan ramah. Meski perasaannya sempat tak beraturan setelah tadi pagi memberanikan diri membuat janji bertemu dengan Leta untuk membuktikan perkataan Risy kemarin, sekarang Lili merasa sedikit lebih baik. Hari ini ia resmi menjadi trainee, ia merasa sangat senang.

Pintu ruangan terbuka, semua mata tertuju kepada tiga orang yang memasuki ruangan. Ialah Leo, sekretarisnya, dan kepala department akting, Minka. Duduk di meja paling depan yang menghadap langsung ke seluruh peserta trainee.

Ketiganya memperkenalkan diri, begitupun semua perserta trainee, satu persatu memperkenalkan diri masing-masing. Lili sadar ada sepasang mata dingin yang terus memandangnya sejak awal. Tapi ia berusaha menghindari membalas tatapan tersebut, karena bagaimana pun juga stasusnya sekarang adalah trainee. Yang harus selalu berhati-hati agar tak dikeluarkan oleh CEO.

Pembicaraan yang membahas sekitar jadwal, rencana, project, masalah kontrak dan ketentuan juga kewajiban ini berlangsung dua jam. Dan setelah selesai, satu persatu peserta mulai keluar meninggalkan ruangan. Lili yang terakhir keluar ruangan karena sibuk membetulkan tali sepatunya dulu. Ia terperanjat saat seseorang berdiri di hadapannya begitu ia keluar ruangan.

"Lili. Boleh aku bertanya padamu?" Kedua tangan Leo dilipat di belakang pinggang, tubuhnya sedikit membungkuk untuk berbicara dengan Lili yang jauh lebih pendek darinya. "Bisa kita bicara di ruanganku?"

Lili tak langsung menjawab, mungkin sikapnya saat ini kelewat hati-hati. Tapi yang sebenarnya ia bingung harus bersikap bagaimana di depan CEO-nya ini.

"Ini perintahku sebagai CEO." Tanpa diduga, Leo mengulurkan tangannya dan meraih pergelangan tangan Lili yang kecil. Menariknya, untuk mengikuti langkahnya.

"A-Aaa. Sakit." decit Lili, membuat Leo langsung memandang ke arah tangan Lili dalam genggamannya.

Tangan Lili begitu kecil dan rapuh di matanya, sehingga ia tak tahu kalau genggaman tangannya yang tak terlalu erat pun bisa menyakitinya. "Maaf." Leo segera melepaskan tangannya dan kembali berjalan, memasuki ruangannya yang tak jauh dari ruang rapat. Lili mengekor di belakangnya, dan langsung terpesona begitu memasuki ruangan Leo yang luas dan berdisain simpel serba putih.

Leo sudah duduk di balik meja kerjanya. "Silahkan duduk!" seru Leo.

Mengangguk sopan, masih tanpa bicara Lili –yang sudah melangkah ke dataran lebih tinggi yang mungkin sengaja di buat diruangan ini agar terlihat lebih megah mirip singgasana– langsung duduk di sofa berwarna putih yang nampaknya terbuat dari kulit.

"Lili. Ada satu hal yang ingin ku tanyakan padamu." Ia berdiri dari tempat duduknya, berjalan mendekat dan akhirnya duduk di sofa seberang Lili. "Kau benar-benar tidak punya keluarga? Bagaimana pun kau sekarang trainee-ku dan tak boleh ada latar belakang yang kau tutupi dariku," tanyanya menyembunyikan maksud sebenarnya.

"Ada." Lili langsung menyahut, "Keluarga angkat. Sejak kecil aku hidup di panti asuhan."

Leo mengangkat tubuhnya yang semula bersandar untuk duduk tegak, "Lalu, kau punya saudara angkat?" Leo kini terlihat jelas sedang mencari tahu sesuatu.

The Storyحيث تعيش القصص. اكتشف الآن