23. Menjadi Orang Lain

123 7 0
                                    


Datang lagi, kata Leo dalam hati. Seperti ini lagi, wanita ini lagi.

Ia memandangi wanita bertubuh mungil berkuncir kuda yang berbaring di sebelahnya, di atas rumput yang sama. Memandang sisi langit yang sama. Gadis ini tertawa sambil menatap wajahnya, Leo kini sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini. Mulai mengikuti alur, merasakan tubuhnya bergerak tanpa perintahnya dan tak melawan sedikit pun.

"Kakak, kenapa kau ingin jadi hakim? Bukankah itu sulit?" kata Lili menatap langsung ke dalam mata Leo.

"Tidak, itu sanggat menyenangkan. Sulit itu bukan tolak ukur akan suatu hal, lihatlah segala sesuatu dari sisi menyenangkannya. Dengan begitu tak akan ada yang sulit." Leo mendengar kalimat ini yang keluar dari mulutnya. Perkataannya disambut kerutan dahi Lili.

"Kenapa?" tubuh Leo bergerak menghadap Lili, "Kau juga, kan? Kalau aku tanya kenapa kau suka bidang teater? Padahal bagiku itu sulit."

Lili tertawa, "Ya, jawabanku sama denganmu. Aku mengaku kalah." Ia duduk memeluk kedua lututnya. Tubuh Leo pun seakan menyalin gerakan Lili, sekarang mereka di posisi yang sama.

"Bagaimana pun juga," ujar Leo yang tengah bukan menjadi dirinya, "Jangan pernah menyerah pada mimpimu. Lakukan dengan hati, kau akan bahagia, sesulit apapun penghalangnya." Tangannya kemudian mengacak-acak rambut Lili.

Lili tersenyum meledek, "Iya, Tuan Lian."

Leo menatap senyum wanita di hadapannya, bertanya-tanya mengapa saat ini terlihat sangat manis di matanya. Leo merasakan tangannya bergerak, ia menduga tangannya ingin membelai pipi Lili lembut, tapi kemudian tak ada yang dilakukan. Matanya justru terpejam kemudian, seakan ia sedang memikirkan sesuatu yang berat.

Lian terhempas keluar dari tubuh Leo ketika Leo membuka matanya. Wajah Leo terlihat gusar, ia melirik ke arah jam di atas lemari kecil di sebelah kepalanya. Sudah pukul tujuh lewat. Ia segera bangkit dari tempat tidur, tapi bukan untuk berlari ke kamar mandi, melainkan untuk mengambil ponselnya di dalam tas kerjanya di atas meja. Lian terdiam menanti apa yang akan Leo lakukan, sekarang ia terlihat menelepon seseorang dengan buru-buru.

"Sekertaris Kimi," ucapnya memanggil sekretarisnya yang ada di seberang saluran telepon. "Apa kau sudah menelepon semua peserta yang lolos audisi kemarin?" Leo terlihat menyimak jawaban Sekretaris-nya. "Ya, nona Lili juga sudah kau telepon untuk datang hari ini?" Ia mengangguk-angguk, "Baik kalau begitu terima kasih."

Di pinggir tempat tidur Leo, Lian tersenyum tipis. Terlihat sedikit menyedihkan namun senyumnya benar-benar tulus. "Aku rasa aku tahu apa yang dimaksud dengan kebahagiaan yang sebenarnya," gumamnya

∞ ♥ ∞

Indi sedang membersihkan ruang tamu saat Lili keluar kamarnya setelah selesai mandi dan memakai baju. "Ya ampun, biar aku saja yang menggesernya." Lili berlari menghampiri Indi yang terlihat kesulitan menggeser meja kaca.

Indi tertawa kecil. "Tidak apa, Lili. Aku biasa menggeser ini sendiri."

"Jangan," protes Lili, "Biar aku saja, aku juga biasa melakukan pekerjaan berat."

"Tidak, aku saja." Indi mengangkat salah satu ujung sisi meja.

"Aku saja." Lili mengangkat di bagian sisi yang lain. Kemudian keduanya saling tatap dan diam, detik selanjutnya tawa pecah di antara mereka.

"Kita angkat sama-sama," ucap Indi dengan senyum. "Lili mengangguk.

Cukup melelahkan, tapi tak diduga mereka sudah selesai membereskan seluruh rumah dalam waktu kurang dari satu jam. Sekarang keduanya asik duduk di teras sambil meminum segelas orange juice dan memandangi pekarangan rumah.

The StoryWhere stories live. Discover now