11. Awal yang Baru

179 14 2
                                    


Wanita di depannya berbicara tentang banyak hal. Tapi Leo tak mencerna apapun di telinganya. Ia bahkan tak ingin mendengar apapun, keberadaan Indi di hadapannya, membuat kepalanya terasa ditarik-tarik.

Mereka kini berada di sebuah kafe dengan design intercontinental yang elegan. Duduk di sofa yang terbuat dari kayu, dilapisi bantalan empuk bercorak bunga bernuansa hijau-cream, senada dengan meja yang juga terbuat dari kayu dengan ukiran cantik di sekelilingnya. Keduanya duduk di pojok, tepat di samping dinding kaca yang menyuguhkan pemandangan di luar kafe.

Ini kafe milik Thomas, sahabat mereka yang sengaja tak duduk bersama karena alasan sibuk. Kenyatannya Thomas membiarkan Leo dan Indi berbincang empat mata. Tapi sejak setengah jam lalu ia mengintip dari ruangannya, ia tak melihat keduanya berbincang. Hanya Indi yang terus bicara dan Leo tak mendengarkan.

Ia menghela nafas, begitulah Leo. Ia tak akan menyampaikan apapun yang ada di otaknya, sekalipun Thomas yakin banyak kalimat yang hendak ia sampaikan pada Indi. Namun ia tetap duduk bergeming dingin di sana, tak acuh dengan setiap kalimat yang Indi katakan padanya.

Padahal sudah jelas, ia mencintai Indi. Sampai sekarang Thomas tak mengerti mengapa sahabatnya lahir dengan 'berdarah dingin' seperti itu. Ini kisah lama antara Leo, Indi dan dirinya sendiri yang belum terselesaikan.

Leo melirik tak kentara, ia tahu Thomas sejak tadi mengawasinya diam-diam. "Thomas!" serunya tiba-tiba, membuat Indi berhenti bicara dan memandangnya heran.

"Kenapa? Kenapa kau memanggil Thomas?" protes Indi. Leo tak menggubrisnya, sekali lagi berseru memanggil Thomas yang sedang menggerutu kesal lalu menarik tubuhnya dari persembunyiannya.

"Apa apa apa?" Thomas muncul dengan membawa ipad ditangannya, "Aku sedang mengerjakan laporan." Kebohongannya diketahui Leo dengan jelas. Ia menilik ke layar ipad yang Thomas taruh di atas meja, yang ada di sana hanya foto-foto model seksi. Bukan tulisan atau angka-angka yang menggambarkan sebuah laporan.

"Aku pinjam mobilmu, aku harus kembali ke kantor. Jam makan siang sudah lewat."

Leo datang tak membawa mobil, Indi yang memaksanya datang ke sini. Dan Thomas dengan terpaksa harus segera mengeluarkan kunci mobil dari dalam saku jasnya, lalu memberikannya pada Leo. Sebelum Leo membunuhnya hanya dengan sorot mata yang kelewat dingin dan tajam.

Tanpa banyak bicara Leo langsung bangkit dari tempat duduknya, mata Indi terus mengawasinya. "Leo!" panggilan Indi tetap tak dipedulikan.

Thomas menatap Indi tak tega, gadis yang dulu juga dicintainya ini sampai sekarang masih tak mengerti mengapa Leo membencinya. "Sudahlah!" ucapnya, Indi beralih memandang heran pada Thomas yang tetap santai dan membiarkan Leo seperti itu.

"Biarkan dia, ia masih sangat berduka dan mungkin butuh waktu untuk sendiri," jelasnya, berusaha membuat Indi tak berpikir macam-macam, dan sepertinya ia berhasil. Karena sinar mata gadis ini yang semula marah berubah iba.

***

Sesampainya di kantor Leo tak masuk ke dalam gedung, ia hanya memanggil salah satu karyawannya dan meminta tolong mengantarkan mobil Thomas kembali ke kafe, juga memberikan uang untuk ongkos kembali ke kantor dengan taksi.

Merenggangkan ikatan dasi hitam di kerah kemeja biru muda-nya sambil masuk ke dalam mobilnya sendiri. Leo segera membuka jas krem-nya begitu mesin mobil sudah dinyalakan, mengenakan safety belt dan mengendarai mobil keluar parkiran. Hari ini tepat seminggu kematian Alaia, ia ingin menengok Alaia dan kedua orang tuanya.

Ia berhenti sebentar di tengah perjalanan untuk membeli tiga karangan bunga mawar putih, bunga kesukaan mendiang ibunya. Lalu kembali mengendarai mobilnya keluar Jakarta.

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang