6. Jangan Membenciku

192 15 0
                                    

Ponselnya berbunyi, Lili mencari-cari benda yang ternyata ada di kolong tempat tidur itu. Ia berjongkok, mengulurkan tangannya ke lantai di bawah tempat tidurnya sembari mengumpat sendiri kenapa ponselnya bisa berada di sana. Semalaman menangis membuat kepalanya pusing, dan bunyi ponselnya yang mengagetkan membuatnya semakin pusing.

Dipandang layar ponselnya, Risy yang menelpon. Baru saja hendak di jawab, panggilannya langsung berakhir. Risy memang tak pernah mau lama-lama mendengar nada sambung. Ketika Lili mengangkat tubuhnya berdiri kemudian duduk di pinggir tempat tidur. Sebuah teks pesan masuk di layar ponselnya, pesan dari Risy. Lili, kau belum bangun? Hari ini ujian kau tidak boleh datang telat!

Tersenyum, biarpun aneh Risy memang teman yang sangat perhatian. Lili melempar ponselnya ke bantal dan beranjak dari pinggir tempat tidurnya, meraih handuk yang tergantung di belakang pintu. Membuka pintu dan berjalan keluar kamar.

Ia sudah memikirkan semalaman, ia tak bisa menyerah sekarang. Mungkin pengakuannya secara langsung pada Lian terlalu naif. Ia tak mau Lian membencinya karena hal itu. Ia harus berjuang, karena ia membutuhkan Lian, lebih dari siapapun.

Ketika membalikkan badan sesudah menutup pintu kamarnya, Lili terdiam di depan pintu kamar Lian yang tertutup rapat. Hanya menatap nanar permukaan pintu, tak berani mengetuk apalagi memanggil Lian. Entah dimana ia sekarang, apakah ada di dalam kamar atau tidak. Mungkin juga ia sudah berangkat kuliah. Lili hanya bisa menunduk lemas, ia merasa merindukan Lian, ingin melihatnya. Melihat Lian tersenyum untuknya. Perasaannya sekarang berantakan, Lili membenci dirinya sendiri.

***

Lian ada di depan kelas, duduk bersandar di bangku besi yang menghadap ke taman kampusnya. Sebenarnya ia tak ada jam pelajaran hari ini dan seharusnya hari ini mengajak Lili ke Mall, sekedar berjalan-jalan ataupun minum kopi. Terlebih kalau bisa melihat music performance yang menjadi kesukaan Lili. Pasti dia akan senang.

Tersenyum datar, Lian menatap ujung sepatunya. Sekarang tak ada yang bisa ia lakukan, di hari ulang tahunnya ini ia tak bisa mengajak Lili jalan-jalan. Bahkan untuk bertemu Lili pun ia tak mampu. Ia marah pada Lili, mengapa bisa melakukan hal bodoh semacam itu. Meski ia lebih marah kepada dirinya sendiri karena telah memukul Lili, dan tak berani minta maaf.

Ia juga muak pada dirinya sendiri, karena tak seharusnya ia merasa gusar seperti ini setelah mendengar pengakuan Lili semalam. Ia tumbuh bersama Lili dan Leta sebagai keluarga. Keluarga yang dicintainya, sejauh ini, itu yang ia pikirkan. Apa mungkin pikiran dan hatinya tak sejalan? Hal ini tiba-tiba menganggu pikirannya.

***

"Cuaca hari ini mungkin sekitar 22 derajat celcius." Risy menggerak-gerakkan jari tangannya, berusaha menghitung jumlah angka tersebut dalam Fahrenheit.

Lili seperti biasa tak terlalu menimpali ocehannya, sibuk sendiri mengingat berapa pertanyaan yang ia jawab dengan ragu-ragu saat mengisi ujian tadi. Sambil berjalan mengiringi langkah Risy yang besar-besar seperti laki-laki.

"Hei! Apa kau mau kita ke karaoke?" Risy memblokir jalan Lili.

Mengerutkan alisnya, "Aku malas kemana-mana," tolak Lili tak tertarik, lalu menggeser tubuh Risy kesamping dan melewatinya.

Risy mendengus sebal, "Lili, lusa aku akan berangkat liburan panjang ke Korea. Tidakkah seharusnya kita buat farewell party?" ucapnya tak beraturan, berlari kecil menyusul langkah Lili yang sudah agak jauh di depannya.

"Kau kan hanya liburan, untuk apa farewell party segala!" sahut Lili ketus, ia sudah sampai didepan gerbang kampusnya.

"Benar juga, jadi kita tak karaoke hari ini?"

Lili menggeleng cuek, tak peduli kekecewaan Risy. Ia sudah cukup pusing dengan pikirannya sendiri. Sudah hampir dua belas jam lebih sejak dia keluar rumah, Lian tak menghubunginya sama sekali. Risy menilik wajah Lili yang kini tengah menunduk mengutak-atik ponselnya.

"Kalau begitu aku pulang, kau langsung pulang juga?" Sekali lagi mencoba, mungkin saja Lili berubah pikiran dan mau pergi ke karaoke. Tapi Lili mengangguk, Risy menghela nafas. Pamit undur dan melenggang pergi ke halte bus. Sedangkan Lili sedang menimbang-nimbang kemungkinan. Akankah Lian datang menjemputnya hari ini. Seiring angin yang bertiup menerpa ujung rok tutu putihnya, Lili memutuskan untuk menunggu.

∞ ♥ ∞

Leo menatap sebuah foto berbingkai hitam di atas meja kerjanya. Di dalam foto ada tiga orang yang tengah mengenakan baju wisuda dan topi toga. Ketiganya terlihat tengah tertawa lepas karena bahagia ketika foto tersebut diambil. Dua pria, satu wanita.

Yang paling kiri adalah Thomas. Di dalam foto itu ia terlihat membuka mulutnya lebar, badannya sedikit membungkuk, dan kedua tangannya memamerkan ijazah sarjana yang baru saja mereka terima. Yang paling kanan adalah seorang wanita yang juga sahabat mereka sejak lama, wanita dengan rambut panjang hitam dan tak berponi. Mengenakan topi toga yang hampir terjatuh karena terlalu miring dari kepalanya. Bibirnya berwarna merah muda, ia tersenyum lebar hingga matanya tak terlihat sama sekali.

Di tengah, menggenakan topi toga dengan sempurna, satu-satunya yang tak menatap lensa kamera. Leo, dengan tangan kirinya yang setengah melingkar di punggung wanita di sebelahnya. Dengan senyuman lebar itu, matanya masih terlihat meskipun dari samping. Ia tengah menatap wanita di sebelahnya.

Sebenarnya ia berjanji pada Thomas, di hari itu akan menyatakan perasaannya pada wanita itu. Namun ternyata ia yang bahkan sudah membeli sebuah kalung sebagai hadiah pun mengurungkan niatnya. Bukan karena ia pengecut, tapi karena ia tak yakin dengan perasaannya sendiri. Leo memang orang yang penuh perhitungan. Dan yang membuatnya mengurungkan niatnya adalah, karena sampai saat ini ia belum juga selesai menghitung. Seberapa harus dirinya memperjuangkan wanita ini untuk hidup bersamanya.

∞ ♥ ∞

Matahari sudah lama tenggelam, Lili masih berdiri di depan gerbang kampusnya yang sudah sejak tadi dikunci dan di gembok. Kakinya sudah hampir keram berjam-jam berdiri di tempat yang sama. Tapi ia tetap tak bergerak sesenti meterpun. Ia kemudian mengambil ponselnya lagi dari dalam tas. Sudah berkali-kali ia menelepon Lian namun tak ada jawaban. Ia pun sudah mengirimkan beberapa pesan singkat.

'Kakak sekarang di mana?'

'Kakak, kau masih marah padaku?'

Namun tak ada satupun pesannya yang berbalas. Lian tak pernah sekalipun dengan sengaja mengabaikannya. Lian pasti masih di kampus, pasti ada urusan yang belum ia menyelesaikan, mungkin ia sedang mengerjakan tugas, mungkin ia sedang di jalan menuju ke sini, pikiran-pikiran seperti ini yang Lili coba tanamkan dalam otaknya.

Ia menatap layar ponselnya lagi, 'Kakak' tulisnya di dalam pesan singkat, 'kau benar-benar marah padaku? Tidak kan? Kau akan datang menjemputku. Kau pasti akan datang. Kau harus datang, Kak.' Ia mengirim pesan itu dengan jari-jari tangan yang mulai kaku karena lelah. Cahaya di layar ponselnya meredup, baterainya hampir habis.

Ia memasukkan lagi ponselnya kedalam tas. Angin memang tak terlalu dingin, namun perutnya yang lapar membuatnya merasa gemetar. Nafasnya berhembus pelan. Ia mengangkat tangan kanannya yang mengepal dan ditaruh di depan dada. Entah mengapa ia merasa sakit di sana. Bukan tubuh, namun hatinya. Mengingat Lian memeluk Leta, mengingat bagaimana Lian menanggapi pengakuannya dengan marah hingga memukulnya, hati Lili terasa sakit, perih.

"Apakah kau membenciku, Kak? Seberapa bencinya kau padaku? Apakah kau tak mau melihat wajahku lagi?" ucapnya lemah.

***

Didalam kamarnya, Lian sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Pandangannya berkutat di antara ballpoint dan buku tulis. Kepalanya bergerak-gerak membaca kembali apa yang sudah di tulisnya. Ia terlihat serius, namun ia sama sekali tak berkonsentrasi. Pikirannya berhamburan ke segala tempat, ia semakin gusar setiap kali ponsel di samping tumpukan bukunya itu bergetar. Satu panggilan, ataupun satu pesan masuk lagi yang dikirim oleh Lili, membuat konsentrasinya pergi dan sulit untuk kembali.

Membanting ballpoint-nya di atas meja, hingga memantul di permukaan dan terpental jatuh ke lantai. Kedua tangannya meremas rambut di kepalanya dan membuat gerakan menarik ke belakang. Ia frustasi. Sebisa mungkin tak ingin membuka pesan yang masuk di ponselnya. Ia tak ingin berubah pikiran, ia tak boleh menemui Lili dulu. Tidak, tidak selama ia belum menemukan jawaban yang jelas dari perasaannya.

    ∞ ♥ ∞ 

The StoryWhere stories live. Discover now