19. Ternyata

116 8 1
                                    


Aku mengenakan seragam sekolah, sepertinya ini masa-masa di mana aku masih seorang siswa. Leo melihat ke sekelilingnya, ini sekolahnya, ia pun bisa melihat Thomas duduk membelakanginya di meja kantin, Indi duduk di sebelahnya. Indi tampak menyadari ke datangannya dan sekarang menengok ke arahnya. "Leo, ke sini!" panggilnya dengan ekspresi wajah yang selalu riang.

Leo merasakan bibirnya menarik ke kedua sisi, ia tersenyum dan melangkah maju. Tapi Indi malah berdiri ketika Leo baru saja menempelkan bokongnya, duduk di hadapannya. Alis Leo berkerut heran.

Indi tertawa pelan, "Kau mau apa? Hari ini aku yang traktir," ujarnya sumringah. "Ah, ku belikan Siomay, ya." Tanpa mendengar jawaban Leo ia berlari kecil pergi membeli makanan.

Pandangan Leo beralih ke Thomas yang ada di depannya, sejak tadi orang ini tak bicara, hanya menunduk diam seolah berkonsentrasi merasakan mie instan yang sedang dimakannya. Padahal setau Leo, Thomas tak terlalu menyukai mie instan.

"Thomas. Ada apa dengan raut wajahmu?"

Thomas mengangkat wajahnya, mengunyah habis mie di mulutnya dan menelannya sebelum bicara. "Aku sudah pernah memberitahumu, kan? Kalau aku menyukainya?"

Leo tak menjawab, mencoba berpikir mengapa tiba-tiba Thomas membahas hal ini dengar raut wajah kesal seperti itu. Tak biasanya Thomas memperlihatkan kemarahannya di depan umum.

"Dan kau," ia melanjutkan ucapannya, "Juga menyukainya. Kau tahu kan? Soal wanita aku tak pernah mengalah sekali pun. Tapi karena hubungan ku dengannya tak ada apa-apanya di banding kau dengannya. Aku pertama kalinya mengalah, tapi sampai saat ini kau tak melakukan apapun. Kenapa?"

Leo masih tak menjawab, ia hanya terdiam.

"Kau tahu kenapa hari ini dia begitu ceria? Alex, kau tahu? Si murid pintar yang sok itu." tersirat kebencian di ucapannya, "Mereka resmi pacaran hari ini."

Ekspresi wajah Leo tetap sama, tak ada yang berubah sedikit pun, ia hanya diam. Mengulurkan tangannya dan mengambil botol air minum Thomas dan meminumnya dengan tenang.

"Hei! Kenapa kau hanya diam, kita sudah hampir lulus. Dan kau masih diam, apa kau menunggu dia menikah dengan orang lain dulu baru kau bicara?"

Masih diam, Leo memang tak bisa menjawab pertanyaan Thomas. Jadi ia memilih diam, karena ia sendiri tak tahu jawabannya. Memang benar ia menyukai Indi, tapi ia merasa tak ada alasan untuk memperjuangkannya. Menurutnya sosok Indi terlalu sempurna, wanita yang bisa melakukan segala hal sendiri. Sedangkan dirinya sendiri terlalu banyak kekurangan, bagaimana bisa wanita seperti Indi disandingkan dengan pria seperti dirinya. Leo tak pernah sedikit pun merasa perlu melindungi Indi.

Ponsel disakunya bergetar, Leo mengalihkan pandangan dari Thomas yang masih memelototinya kesal dan merogoh sakunya. Nomor tak dikenal yang memanggil di layar ponselnya.

Ia menjawab panggilan dan menempelkan ponselnya di telinga, "Kakak kau di mana? Kau harus segera ke sini. Adikmu di bully lagi, aku tak bisa melakukan apapun karena aku juga di kurung di sini. Kau harus ke sini secepatnya."

Leo mengangkat kepalanya, ia tak tahu apa yang baru saja perempuan di telepon tadi katakan. Yang ia tahu sekarang ia berada di tempat yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Tubuhnya bergerak tanpa perintahnya, sekarang ia berlari ke sebuah tempat yang bisa dibilang adalah sebuah parkiran.

Ia menaiki sebuah motor putih dan mengendarainya pergi, padahal seingatnya ia tak bisa mengendarai sebuah motor. Tapi sekarang dengan lihai ia mengendarainya di jalan raya, mengarah ke sebuah tempat yang tak tahu di mana.

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang