4. Tidak Mungkin

169 15 4
                                    

Ketika berjalan keluar kamarnya, Lian mencium bau harum makanan kesukaannya dari arah dapur. Sebenarnya ia haus, namun karena aroma ini perutnya mendadak lapar. Dengan cardigan bergaris biru abu-abu yang melapisi kaus putih berkerah V, dan celana krem yang panjangnya sampai di bawah lutut. Lian melangkah ke arah dapur. Hari masih siang, anak-anak lain belum pulang dari sekolah mereka, Lian pun baru pulang setengah jam lalu, suasana Rumah Bunga Mawar begitu sepi.

Di waktu yang sama Leta tengah berdiri di samping pintu dapur, terdiam mematung, sama sekali tak bersuara. Ia memasang telinga, mengawasi pembicaraan antara dua pengurus Rumah Bunga Mawar yang ada di dalam dapur. Pembicaraan seperti ini sering ia dengarkan diam-diam.

Satu dari dua orang yang ada di dalam dapur adalah Dian, adik ipar dari Ibu Mawar, dan yang satunya lagi adalah pembantu rumah tangga Ibu Mawar, sudah mulai bekerja jauh sebelum Rumah Bunga Mawar di bangun. Mereka memang cukup dekat dengan Ibu Mawar, karena Leta sudah melihat mereka sejak ia mulai bisa mengingat.

Tiba-tiba Leta menutup mulutnya yang terbuka lebar karena kaget, matanya melotot tak berkedip. Dalam percakapan mereka Leta mendengar sesuatu yang tak pernah terbesit sekalipun di pikirannya. Sebuah kenyataan yang entah harus ia tanggapi dengan perasaan bagaimana.

"...hanya memberi tahu salah satunya tentang orang tua yang sebenarnya Aku tak mengerti kenapa selama ini tetap harus dirahasiakan, bahwa diantara mereka memang kenyataannya bersaudara kandung." Itu suara Dian, suara seraknya dengan logat Aceh yang masih kental, begitu mudah dikenali.

"Iya, aku juga berpikir begitu. Bukankah ini hal yang baik dan tak perlu disembunyikan?" Timpal Devi, pembantu Ibu Mawar, lalu memasukkan acar kedalam mulutnya.

Leta menggeleng, "Tidak mungkin!" Ia menunduk lemah, membalikkan badannya dan berjalan beberapa langkah menjauhi pintu dapur. Namun ia sadar, seseorang berdiri di depannya tengah memandangnya dalam diam. Dengan mata yang mulai berair, Leta pun mengangkat wajahnya dan mendapati Lian di hadapannya.

"KAKAK? Kakak?" Lili mengetuk-ngetuk pintu kamar Lian. Tak ada jawaban ia pun memilih membuka pintunya. Memasukkan kepalanya di antara celah pintu untuk melihat ke dalam kamar. Lian tak ada di dalam.

Ia menutup kembali pintu kamar Lian. Bola matanya berputar, berpikir kira-kira dimana Lian berada. Jelas-jelas tadi ia dengar Lian sudah pulang. Saat menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, hidungnya kembang kempis. Ia mencium aroma sesuatu. Tersenyum, Lili mengangguk-angguk. Sekarang ia bisa menduga dimana Lian berada, Lian pasti juga sudah mencium aroma ayam dan langsung ke dapur, duganya.

Sementara beberapa meter dari pintu dapur, Lian memegang kedua bahu Leta yang masih terdiam, "Kak, ada apa? Kau baik-baik saja?" tanyanya pada Leta yang kini menangis.

Bingung, tak tahu harus bagaimana. Lian menepuk-nepuk bahu Leta pelan. Tak sadar itu membuat jarak antara tubuhnya dan Leta menjadi semakin dekat, secara tak langsung seperti menggiring wajah Leta untuk berlabuh di dadanya. Terbawa suasana, Leta pun membenamkan wajahnya di sana. Mencari ketenangan dalam hangatnya sikap Lian. Sekarang ini ia memang benar-benar tak bisa mengatakan apa-apa, Lian sendiri pun sebenarnya mendengar percakapan yang didengarkan Leta tadi, walaupun hanya sedikit. Tepatnya mungkin yang terakhir, sebelum Leta membalikkan badan dan menyadari keberadaannya.

"Tidak." Lili tercekat. Mata Lili membulat tak percaya, ia segera menarik tubuhnya kembali ke balik tembok dan terdiam. Punggungnya yang menempel di dinding terasa dingin, kakinya bergetar. Melihat Leta dan Lian berpelukan, mengingat apa yang ia lihat barusan, Lili perlahan merosot ke lantai. "Tidak mungkin," ulangnya sambil bergeleng. Berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa yang ia lihat barusan salah. Namun tak ada yang salah, Lian memeluk Leta, dan ia terluka. Lili segera mengangkat tubuhnya dan berjalan kembali ke kamarnya. Sementara mengunci diri.

The StoryDove le storie prendono vita. Scoprilo ora