8. Ia Sudah Tahu

142 15 0
                                    

Pintu kamarnya terbuka lagi, sama seperti beberapa waktu lalu, ketika menengok Lian mendapati Ibu-nya berdiri di ambang pintu. Namun kali sedikit berbeda, saat Lian menghampiri, wajah Ibu Mawar terlihat gusar.

"Lian , kau benar-benar tak tahu dimana Lili berada? Ini sudah tengah malam. Ku telepon ponselnya tidak aktif," ucapnya khawatir.

"Aku.." Lian bingung, ia merasa membenci dirinya sendiri yang sekarang tak bisa memberikan jawaban apapun.

"Kau tau nomor telepon teman-teman Lili?" cetus Ibu Mawar, tak sadar Lian mengangguk. "Baiklah, coba kau hubungi teman-temannya. Aku juga coba menanyakan Risy." Ibu Mawar lalu pergi.

Terdiam di depan pintu kamarnya, Lian menengok ke arah jam, setengah dua belas malam. Ia enggan untuk bergerak, mengumpat sendiri mengapa tampaknya saat ini otaknya berpikir sangat lambat. Matanya menengok ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja belajarnya. Ragu, namun Lian tetap melangkah ke meja belajarnya, dan perlahan meraih ponselnya dan membaca semua pesan teks yang tampil di layar.

"Dia masih menungguku?" gumam Lian bertanya-tanya. "Dia masih menungguku!" serunya pada diri sendiri lalu meraih jaketnya yang tergantung di sebelah lemari. Mengenakannya dan berlari keluar kamar. Pikirannya benar-benar berantakan, untuk pertama kali dalam hidupnya Lian merasa terombang ambing perasaan tak jelas seperti ini. Sekarang yang pertama harus Lian lakukan adalah membawa Lili pulang. Masalah di antara mereka bisa diselesaikan nanti.

Ia keluar Rumah Bunga Mawar dan menuruni anak tangga, berbelok ke arah parkiran yang gelap. Penjaga Rumah Bunga Mawar mungkin lupa menyalakan lampu garasi. Lian mengeluarkan kunci dari dalam saku celana, dan menaiki motornya. Namun ia berhenti bergerak, terdiam sejenak ketika mendengar pintu Rumah Bunga Mawar kembali terbuka dan seseorang berjalan keluar.

Lian turun lagi dari motornya dan berdiri memandangi sosok yang kini berjalan menuruni tangga. "Kak Leta?" ucapnya dalam hati, heran dengan apa yang ia lihat. Leta mengenakan mantel bulu berwarna hitam, dengan stiletto merah ia berjalan ke arah gerbang.

Melihat Leta keluar rumah diam-diam dengan dandanan sedikit berbeda, Lian mendadak ingin tahu apa yang ia lakukan. Lian menampik dugaan-dugaan buruk yang terlintas dipikirannya, setahu Lian, Leta tak suka kehidupan malam. Mungkin dia ada urusan lain yang tak ingin di ketahui siapapun, Leta tipe orang yang suka menutupi masalah, pikir Lian. Entah kenapa kakinya justru bergerak mengikuti Leta.

Leta berhenti dan duduk di halte, Lian segera menyembunyikan tubuhnya di balik batang pohon di pinggir jalan. Ia tak tahu pohon apa ini, tapi daunnya yang berwarna merah cerah sangat indah untuk dipandang. Di tiliknya, Leta masih duduk santai sambil mengutak-atik ponselnya. Lian lalu mengalihkan pandangan ke jembatan penyeberangan yang berada sekitar tiga puluh meter dari tempatnya. Baru saja tampaknya ia melihat ada sosok anak kecil yang berlari, dan menghilang di tempat yang gelap.

"Sora, anak nakal itu masih tetap bermain di sana," ucapnya kesal.

Sebuah mobil yang melintas, mengalihkan pandangan Lian sekali lagi, memperhatikan mobil sedan mewah berwarna hitam metalik yang berhenti di depan halte. Seseorang keluar dari pintu penumpang. Pria setengah baya yang rambutnya sedikit botak. Leta terlihat tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya lalu menghampiri pria itu.

"Kau sudah lama menunggu?" kata pria itu dengan suara serak, Lian bisa mendengar dari tempatnya bersembunyi.

Leta menggeleng manja, "Tidak, baru saja."

"Ahh kau benar-benar cute." Pria ini mencubit pipi Leta lalu menciumnya.

Tangan Lian bergetar, apa yang sedang di lihatnya ini? Ia sampai berpikir lagi apakah wanita itu benar-benar Leta? Apakah ia sedang berdelusi? Namun jelas, itu memang Leta. Kemudian apa suasana yang sedang di lihatnya sekarang?

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang