3. Janji

241 21 2
                                    

Hari ini jalanan Jakarta sepi karena hujan yang sudah seharian mengguyur. Orang-orang yang berlalu lalang di pinggir jalan pun menggunakan payung dan jas hujan yang beraneka warna untuk melindungi diri dari hujan. Di depan pintu gerbang kampusnya, Lili berdiri menegenakan kaus putih di lapisi jaket jeans dan rok tutu hitam sepanjang lutut. Di bawah payung pinjaman dari Risy, ia melemparkan pandangannya ke arah timur.

Di setiap keadaan hujan seperti ini, Lili tak pernah ingin Lian menjemputnya. Ia tak mau Lian repot-repot mengendarai motor di bawah hujan, sementara dirinya bisa pulang sendiri ke Rumah Bunga Mawar dengan menggunakan bus. Hal yang membuatnya tetap bertahan menunggu Lian adalah, karena ia sudah coba menelepon dan mengirimkan pesan ke ponsel Lian –untuk memberi tahu agar tak perlu datang menjemputnya– namun tak ada jawaban sama sekali, dan Lili yakin Lian akan tetap datang menjemputnya. Karena itu lah yang selalu Lian lakukan selama belasan tahun ini.

Sesuai perkiraan Lili, Lian benar-benar datang. Jaketnya terlihat basah kuyup dan celana jeansnya basah. Dengan kesal Lili mendekatinya, "Kakak benar-benar, deh! Sudah ku bilang tak perlu datang menjemput." Memukul bahu Lian pelan.

Lian tertawa renyah. "Apa pun terjadi aku pasti menjemputmu."

"Benarkah?" Lili pura-pura tak percaya dan menyembunyikan senyum.

"Tentu saja. " Lian meyakinkan, "Sudah, ayo cepat, kita pulang."

Masih menahan senyum bahagianya, Lili mengangguk, segera melipat payungnya dan naik ke atas motor. Tak jarang mereka kehujanan seperti ini, bagi Lili, ini adalah salah satu moment yang romantis. Bisa memeluk Lian di tengah hujan, hanya mereka berdua. Hidup dan tumbuh bersama Lian adalah anugerah tak terhingga dalam hidupnya.

Ketika sampai di Rumah Bunga Mawar hujan sudah mereda, Lili berdiri di anak tangga paling bawah di depan pintu masuk, menunggu Lian memarkirkan motornya.

Ia memandangi halaman Rumah Bunga Mawar yang terbentang luas di depan matanya. Lapangan rumput dan beberapa pohon yang selalu dirawat para pengurus. Tiba-tiba teringat sesuatu dan tersenyum sendiri. Dulu, ketika ia masih kecil, bangunan Rumah Bunga Mawar memiliki warna senada dengan rumput di halamannya, warna hijau muda. Namun karena keisengannya mencoret-coret pilar besar yang menyangga teras Rumah Bunga Mawar dengan spidol warna, bagunan ini sepenuhnya di cat menjadi berwarna putih, hingga sekarang warnanya tetap putih. Terasa betapa waktu sangat cepat berlalu. Sekarang ia sudah dewasa dan menjadi seorang mahasiswi, hingga tak mungkin untuknya mencoret-coret pilar lagi.

Lian telah selesai memarkir motornya, sekarang keduanya berjalan beriringan menaiki anak tangga dan masuk ke aula Rumah Bunga Mawar. Sora, adik angkat mereka yang berusia dua belas tahun datang menghampiri. Di tangannya tersampir dua handuk besar, tanpa bicara apapun ia langsung memberikan handuk tersebut ke kedua kakak angkatnya.

"Wah, Sora sekarang bertambah pintar." Lili mencubit pipi gadis kecil berambut bob ini sambil meraih handuk yang di berikan padanya.

"Aku kan sudah besar, Kakak," sahut So Ra penuh percaya diri.

Lili dan Lian saling memandang kemudian tertawa pelan, "Iya, Sora sekarang sudah bertambah besar." Lian membungkukan badan dan mencubit hidung Sora, "tapi bukan berarti kau boleh terus berkeliaran tengah malam, di jembatan depan."

Lili mendelik, ia terlihat heran dengan perkataan Lian. Sementara Sora mengerutkan dahinya sebal. "Aku hanya memperhatikan bintang, di sana terlihat lebih jelas."

"Aish!" decak Lili, memukul bahu Sora pelan, "Jangan lakukan itu lagi Sora. Itu berbahaya. Kau mengerti?" tegur Lili, sambil mengangguk Sora berjalan menjauh dan berkumpul dengan saudara-saudaranya yang lain di ruang tamu.

Lian tengah menggosok-gosokkan handuk ke rambut dan lehernya, di sebelahnya Lili menatap dalam diam, beberapa kali membuang pandangan ke arah lain namun tetap selalu kembali ke Lian.

"Kakak," ujarnya sambil menunduk, dan ketika Lian langsung menengok ke arahnya. "aku," sambungnya takut-takut.

"Ada apa?" Lian menurunkan handuk dari lehernya.

"Apa lebih baik aku berhenti kuliah?" Lili masih takut mengangkat wajahnya.

Lian menghela nafas. Ini bukan pertama kalinya Lili tiba-tiba bicara seperti ini. Dan Lian paham, kali ini penyebabnya pun pasti sama. "Kenapa? Kak Leta memberikan uang untuk biaya kuliah, lagi?" tebak Lian tepat sasaran.

Bergeming singkat, "Tidak, cuma.." gumam Lili berusaha mencari alasan.

Lian berdecak, "Bukan hanya kamu yang berpikir seperti itu, Kakak juga pernah sempat memikirkan hal yang sama."

"Lalu?" seru Lili ingin tahu, tak sadar telah mengangkat wajahnya.

Tak menjawab, Lian justru melengos, berbalik badan dan berjalan ke arah lorong menuju kamarnya. Lili pun langsung bergerak berusaha menyamai langkahnya. "Kakak, lalu bagaimana?" desaknya, mengekor dibelakang Lian.

"Kakak," ratapnya, Lian berhenti. "Au" pekik Lili menabrak punggung Lian.

"Kenapa kau masih terus bertanya?" seru Lian. Ia berdiri di depan pintu kamarnya.

"Aku ingin tahu." Lili balas berseru.

Lian mendesah, "Bukankah sudah jelas? Tak ada alasan untuk kamu berhenti kuliah." Ia menaruh kedua telapak tangannya di bahu Lili. "Kalau berhenti sekarang, sebelum mendapatkan hasil apapun, apa yang bisa kau berikan sebagai balasan untuk usaha Kak Leta?" ia menatap Lili dengan serius. Lili hanya terdiam.

"Apa kau akan melepaskan mimpimu?" tanya Lian lagi.

Lili menggeleng, ia ingin sekali menjadi seorang aktris seperti Dian Sastrowardoyo dan Lily Collins idolanya. Ia ingin sekali masuk dunia akting, karena ini satu-satunya bakat yang Lili punya.

"Aku tahu, kamu tidak akan bisa!" tambah Lian. "Hanya percaya pada mimpimu, seberat apapun kau coba menggapainya. Selama kau berusaha, suatu saat kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Kakak akan selalu ada di sampingmu."

Mata teduh Lian selalu menghangatkan hatinya, Lili tak pernah bisa tak mengindahkan kata-kata Lian. Ia pun mengangguk. "Janji, Kak? Kau akan selalu ada disampingku?"

Menarik tangannya dari kedua bahu Lili, Lian kembali berdiri tegak. Ia tersenyum, "Iya, aku janji.."

∞ ♥ ∞

Di sebuah sofa putih Leo duduk terdiam. Di atas meja kaca di hadapannya ada sebuah botol kecil transparan berisi tablet obat yang sejak tadi terus ia pandangi.

Ia tak pernah mau datang kembali ke rumah sakit tempat dulu ia menjalani rehabilitasi, bahkan untuk kontrol sebelum benar-benar sembuh pun, dulu, perlu kerja ekstra dari semua orang terdekatnya untuk membujuknya. Namun kali ini beda, Leo sendiri yang kemarin datang ke tempat di mana ia di rawat dulu, menemui dokter yang dulu mengobatinya. Hanya untuk meminta obat penghilang sakit yang ia rasakan di kepalanya, sekaligus obat yang dapat membantunya merasa lebih tenang.

Berhari-hari ia mengalami mimpi buruk, semakin ia menghindar semakin bayangan akan kematian orang tuanya dan Alaia muncul dalam ingatannya. Kepalanya pusing setiap kali bangun tidur di pagi hari, dan akan terus terasa sakit sampai ia tidur lagi di malam hari. Leo benar-benar berantakan, ia memang pribadi yang dingin sejak kecil, namun bukan pribadi yang beku membatu seperti saat ini.

Di balik tembok, disamping kamarnya yang tak jauh dari ruang tamu. Harti memperhatikan pungung Leo. Harti tahu betul obat di depan Leo itu tidak-sembarangan bisa didapat, dokternya pun melakukan pemeriksaan intensif terlebih dahulu pada Leo kemarin, Harti menemani. Leo di diagnosis mengalami gejala mirip PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), yang secara umum dapat didefinisikan sebagai semacam gangguan stress yang muncul dari rasa trauma dalam diri seseorang, setelah mengalami kejadian yang menyebabkan penderitaan fisik maupun mental.

Obat itu diberikan dengan 'catatan penting', tidak boleh dikonsumsi lebih dari satu kali sehari. Juga, tidak boleh lebih dari dua tablet sekali minum. Satu komposisi dari obat itu bisa membuatnya merasa lebih tenang. Namun bukan berarti obat ini tanpa resiko. Catatan penting itu diberikan oleh dokter karena obat ini memiliki efek samping jika dikonsumsi secara berlebihan. Yaitu gangguan halusinasi bahkan yang terparah bisa memperlemah kerja otak. Harti harus benar-benar mengawasinya.

∞ ♥ ∞

The StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang