21. Sang Penolong

108 7 0
                                    


Meski awalnya sedikit ragu, Risy akhirnya memilih untuk mengikuti kata hatinya hari ini. Berdiri di dekat Rumah Bunga Mawar, menunggu sosok Lian terlihat oleh matanya. Sejak tak bisa menemukan keberadaan Lili, ia tak pernah bisa tidur dengan pulas. Di sebuah minimarket 24jam baru yang dibangun di seberang Rumah Bunga Mawar, Risy duduk mencicipi segelas mie instan, menghadap ke dinding kaca yang membuat pandangannya langsung mengarah ke pekarangan Rumah Bunga Mawar.

"Ku mohon, Kak Lian datanglah," gumamnya. Hampir dua jam dia menunggu, masih tak ada tanda-tanda kehadihan Lian.

Baru saja ia mengatupkan mulutnya, ia melihat sosok yang dikenal berjalan ke depan gerbang Rumah Bunga Mawar. Risy segera bangkit dari tempat duduknya dan berlari keluar minimarket. Tanpa berpikir panjang langsung menyeberangi jalan, mendekati sosok Lian yang kini terlihat berjongkok sambil memejamkan mata dan menutup kedua telinganya.

Lian terlihat melenguh kesakitan, keadaannya menyedihkan. Kaki Risy terdiam, berdiri di samping Lian yang tampak belum menyadiri kehadirannya. Ini benar-benar Lian, Risy merasakan kesedihan yang membuatnya ingin menangis. Tak bisa membayangkan kalau Lili lah yang berada di posisinya. Melihat Lian dengan keadaan seperti ini, mungkin Lili bisa langsung gila.

"Kak Lian." Bibir Risy bergetar, wajahnya memerah dan rahangnya merapat. "Hai." Ia membungkukkan badannya dengan gerakan kaku mirip robot.

Sejenak tak ada respon dari Lian, ia bertahan dengan posisinya dan merasakan sakit yang perlahan menghilang. Pelan-pelan tangannya turun dari samping telinga. Wajahnya bergerak terangkat, kini mata lemahnya memandang Risy tak percaya.

"Risy?" suaranya terdengar parau, seakan mengayun jauh dari kerongkongannya. Risy mengangguk sembari menghapus air mata di pipinya.

"Kau bisa melihatku? Kau melihatku?" Lian mengangkat tubuhnya berdiri. Ia bergeleng, mengedipkan matanya berkali-kali. "Apakah ini nyata?"

Kedua sudut bibir Risy tertarik, ia berusaha menahan agar tangisnya tak tumpah lebih banyak. Di hadapannya ini, orang yang dulu pernah disukainya, kakak dari teman terdekatnya. Hatinya teriris mendapati keadaan Lian yang menyedihkan di ambang dua kehidupan. Kemudian ia mengangguk, "Iya, Kakak, ini nyata. Aku bisa melihatmu."

***

Berkali-kali Lili menyembunyikan kepalan tangannya yang bergetar di balik saku blazer pink peach melapisi tanktop putih yang ia kenakan. Dan hari ini ia mengenakan celana jins-nya yang makin belel dari hari kehari.

"Kau gugup?" Thomas sadar dengan gerak-gerik Lili.

Sekarang mereka duduk di dalam sebuah ruang tunggu dengan deretan bangku yang cukup banyak. Ruangan yang penuh dengan calon audisi seperti Lili dan para orang yang mengantar, seperti Thomas sendiri. Sudah hampir tiga jam menunggu, dan Lili lebih banyak diam. Thomas beberapa kali coba membuka topik pembicaraan namun Lili terlihat tak tertarik bicara.

Menanggapi pertanyaan Thomas, Lili bergeleng dusta, mengurai senyum seakan ia sedang tenang-tenang saja. Sejujurnya, ia memang sudah nyaman dengan sosok Thomas, tapi pribadinya yang tak pernah bisa langsung dekat dengan orang yang baru dikenal membuatnya sungkan untuk banyak membuka suara.

"Selanjutnya!" seru seorang pria berkaca mata, yang sejak tadi memanggil peserta lain untuk masuk ruang audisi. Dan kali ini giliran Lili, ia menelan ludah gugup dan berdiri dari tempat duduknya. Menengok ke arah Thomas yang masih duduk santai di tempatnya.

Thomas melemparkan senyum lebar, "Semangat!" ujarnya memberi semangat sambil mengangkat kepalan tangannya ke udara.

Lili mengangguk, menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya dari mulut. Sambil menyelipkan rambutnya yang ditata lurus ke samping telinga, Lili mengikuti langkah pria berkacamata ini mendekati pintu ruang audisi. Ketika pintu terbuka, kegugupan Lili semakin bertambah, ia melangkah maju sambil terus menundukkan kepalanya. Hanya memandang ke lantai yang dipijaknya tanpa menengok kanan-kiri.

Di tempat duduknya mata tajam Leo melebar kaget, sejak Lili masuk ke ruangan ini nafasnya seakan tersendat di tenggorokan. Ia yang beberapa jam lalu sudah bisa fokus dengan perkerjaannya, kembali terganggu dengan ingatan mimpi-mimpinya. Wanita yang kini berdiri beberapa langkah di depannya itu, ia bermimpi mengecup dahinya semalam.

Ketika Lili mengangkat wajahnya perlahan dan tanpa sengaja langsung menatapnya, untuk pertama kalinya dalam hidup, Leo menarik pandangan 'membunuhnya' dari orang lain dan merasa gugup. Benar-benar tak seperti dirinya. Ia harus mengumpulkan pikirannya yang berantakan dulu sebelum akhirnya kembali menatap Lili.

Di sampingnya, kepala departmen akting menengok. Wanita tiga puluh enam tahun bernama Minka ini segera kembali menarik pandangannya, yang baru satu detik ia lemparkan ke wajah Leo. Tatapan mata Leo benar-benar mematikan untuknya. Menurutnya mungkin tak ada satu wanita pun yang sanggup berlama-lama menatapnya. Ia langsung beralih memandang Lili yang berdiri terdiam di tempat. Mengira-ngira bagaimana rasanya ditatap Leo seperti itu.

Lili sendiri pada kenyataannya tak sadar kalau dirinya tengah membalas tatapan Leo. Sejak tadi ia memandang wajah Leo untuk mengingat-ingat, sepertinya ia pernah melihat wajah ini tapi ia lupa kapan dan di mana.

"Maaf, Direktur, bisa dimulai sekarang?" ujar Minka tanpa menengok ke wajah Leo lagi.

Hanya mengangguk, Leo tak melepaskan tatapannya dari Lili yang sekarang semakin gugup karena sudah mengingat kejadian saat ia bertemu dengan Leo.

"Baik, Nona. Silahkan perkenalkan dirimu." Minka membaca kertas profil Lili yang ada di atas mejanya, begitu juga dengan empat orang juri lainnya. Kecuali Leo.

"Ya." Lili mengangguk sopan, membuang pandangannya dari Leo lalu membungkukkan badannya, "Selamat siang, nama saya Lili, umur dua puluh tahun."

Minka menggangguk, "Apa kemampuanmu? Kau kuliah jurusan teater?"

"Ya, tapi saya baru saja mengundurkan diri dari sana," ucapnya tanpa ragu, "Karena tak ada biaya," tambahnya kemudian.

Minka mengangguk-angguk, "Universitas ini termasuk yang terbaik untuk jurusan teater," berbisik pada Leo sambil menunjuk kertas profil Lili yang ada di hadapan Leo. "Seharusnya kemampuan aktingnya tidak perlu dipertanyakan, karena untuk kuliah di sana tes aktingnya cukup ketat. Begitu yang ku tahu."

Tak begitu menyimak perkataan Minka, Leo sekarang tengah menengok ke bagian kosong di kertas profil Lili.

"Bagaimana dengan tempat tinggal? Kau tak mengisinya di sini." Suara berat Leo seketika menggema di ruangan, semua orang di balik meja juri pasti terdiam jika dia yang bicara. "Apa kau tidak punya tempat tinggal?"

"Tidak ada," sahut Lili tenang, kembali membalas tatapan dingin Leo. "Sekarang aku sedang tinggal dengan temanku," tambahnya kemudian.

"Lalu keluargamu? Kenapa bagian ini juga kosong tak diisi? Apa kau tak punya keluarga?" seketika semua stafnya merasa bingung. Leo tak pernah mempermasalahkan profil perserta audisi di awal perkenalannya. Peserta yang sebelumnya masuk keruangan ini pun, diminta menunjukkan bakatnya terlebih dahulu sebelum dibaca profilnya. Terlebih sejak audisi hari ini dimulai Leo tak sekali pun ikut bertanya-tanya, hanya fokus menilai dalam diam. Tapi sekarang ia mempertanyakan banyak hal yang tak seharusnya.

Lili menggigit bibirnya, detak jantungnya mulai terasa cepat ketika emosinya melesat tak karuan seperti saat ini. "Aku tak punya keluarga."

"Bagaimana dengan orang tua?" cecar Leo. "Setidaknya kau mengisi bagian yang ini. Apa kau juga tak punya orang tua?"

Kalau saja sejak tadi Lili tak berusaha menenangkan diri lebih dan lebih, mungkin kali ini ia sudah berteriak memaki pria sombong ini. Karena kepalanya sudah memanas dan tatapan merendahkan dari Leo benar-benar menyulut emosi.

"Wanita yang mudah marah itu sama sekali tak cantik dan tak menarik dimataku." Kalimat yang dulu pernah Lian ucapkan ini lah yang membuat Lili selalu menahan emosinya lebih dan lebih. Dan seperti saat ini, jika dadanya terasa panas karena amarah, lebih baik ia memilih diam dan mengingat-ingat perkataan Lian.

Minka berdehem, ia paham suasana saat ini tak akan menyenangkan jika tetap dibiarkan berlanjut seperti ini. "Baik, Lili. Kau bisa tunjukkan pada kami bakat aktingmu? Atau mungkin kau bisa bernyanyi?"

***Q�P

The StoryWo Geschichten leben. Entdecke jetzt