What Did I Get Myself Into?

2.2K 324 173
                                    

Terlalu sulit untuk membedakan kenyataan dan mimpi buruk saat kau terus menerus di hantui mimpi buruk yang membunuhmu perlahan.


- Lutfia Ihwani Umar



















"Ini sudah kelewatan, Lutfia!"

"Kau tidak berhak memarahiku, Bukan untuk itu kau dibayar."

"Kau membunuh dirimu sendiri,"

"Shut the hell up!" aku bangun dari sofa.

"Tatap mataku ketika aku sedang berbicara denganmu!"

"Hentikan, Maria! Yang harus kau lakukan hanya mengawasiku ketika orang tuaku tidak di rumah yang dimana mereka memang tidak pernah di rumah." Aku menarik napas. "Kau tidak dibayar oleh mereka untuk menjadi pengganti orang tua." Aku menggerutu mengangkat laptop dan camilan.

Maria kepala pengasuh memberiku tatapan marah tapi peduli saat aku berjalan melaluinya menuju kamar.

"Pastikan saja makanan ada dan aku sudah makan. Mudah, kan? " Aku melanjutkan langkah ke kamar tapi Maria menghentikanku.

Matanya jatuh ke Laptop yang sedang kupeluk erat. "Lola, aku mungkin hanya pengasuh dari sekian banyak pengasuhmu-"

"Lutfia saja, oke? Jangan memanggilku Lola. Kita bukan teman. Dan kau, kepala pengasuhku tepatnya."

Maria mengiyakan. "Ya, dan kau juga tahu aku punya lebih banyak hak dibanding pengasuhmu yang lain."

Here you go, Maria memulai khotbahnya. (Siapkan penyumbat telinga dan bantal. Itu akan membantumu tidur nyenyak).

"Aku ingin kau berhenti," Katanya.

Apa dia bilang?
Yakinkan aku tidak salah dengar.

"Siapa kau? Kau tidak berhak menyuruhku berhenti menulis!"

"Aku berhak ketika aku tahu itu berpengaruh buruk padamu!" Maria mulai menggertak.

Aku balas menggertak, "Jangan menggertakku!" Kulempar snack ke samping tubuhnya hingga mengotori dinding dibelakang.

"Kau sadar kau benar - benar berubah, sekarang?!" Dia melotot. Maria mengguncang kedua bahuku. "Ini sudah terlalu jauh. Kau harus berhenti! "

"Off !" Kutampik tangannya di bahuku. ''Kau tidak berhak-"

"Kau bisa mati, Lutfia!"

Hening sesaat.

Maria benar.
Aku bisa mati.
Ini sudah terlalu jauh.
Tapi aku sudah terlalu jauh untuk berhenti.
Meski aku ingin sekali berhenti,
Aku tahu aku sama sekali tidak bisa berhenti.

Aku menatap kakiku. "Kau tidak mengerti," Aku luluh.

Maria mendekat, mengangkat dagu-ku dan membuatku menatapnya. "Aku mengerti." Ucapnya lembut meyakinkan.

Matanya jatuh ke lenganku. "Kau lihat?" Tangannya menyentuh bagian yang lebam. "Jika kau berhenti menulis, luka ini mungkin tidak akan muncul lagi."

"Apa yang membuatmu begitu yakin jika semua teror itu akan berhenti ketika aku berhenti menulis?"

Maria mengalihkan pandangannya dari mataku. "Aku tahu ini lancang.."

"Tatap mataku ketika aku berbicara denganmu," Ku ulang kata - katanya.

Maria menatapku. "Aku tahu kau sedang menulis novel horor saat ini,"

Tanpa pikir panjang, "God! Kau memeriksa laptopku?!"

Aku marah. Bisa kurasakan wajahku yang memanas. "Damn! Apa yang membuatmu begitu pede memeriksa laptopku, huh?! " Kudorong Maria ke dinding.

"Teror itu," Rintihnya.

"Teror apa?" Aku mulai lepas kendali.

"Kau tahu apa yang kubicarakan!" Dia meneriakiku.

Tindakan yang salah.

Maria baru saja membuatku-

Praak !!!

Maria memegang pipinya yang memerah. "Harus berapa kali Kubilang?" Tanyaku tanpa rasa bersalah sudah menamparnya. "Jangan-pernah-berani-meneriakiku,"

Aku mulai tenang saat melihat mata Maria berkaca - kaca.

Tuhan, apa yang baru saja ku lakukan?
Apa yang salah denganku?

. . .

" Maria, aku- "

"Lola, kau sadar sejak kau menulis cerita itu hal - hal aneh mulai terjadi padamu?" Maria setengah berbisik.

"Itu hanya kebetulan." Kataku. "Sadar, Maria. That kind of stuff only happen in a movie. This is a real world."

"Lalu bagaimana kau akan menjelaskan ini?" Maria menunjuk lebam - lebam di tubuhku.

"Aku mungkin sleep-walking atau jatuh dari tempat tidur, aku tidak tahu."

"Mimpi buruk itu. Bagaimana kau menjelaskannya?"

"Itu hanya mimpi buruk, Maria!"

"Hanya mimpi buruk? Mimpi buruk macam apa yang selalu datang setiap malam hingga membuatmu menjerit seolah seseorang sedang menusukmu?"

. . .
Mulutku tertutup rapat.
Maria benar.

Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang. Aku tidak memiliki jaminan bahwa aku akan tetap hidup setelah aku berhenti menulis.
Jika ceritanya berlanjut, aku mungkin masih punya kesempatan untuk hidup.

"Lutfia, mimpi buruk macam apa yang membuatmu lebam dan terluka ketika bangun?" Maria meyakinkanku untuk berhenti.

"Maria aku tahu kau peduli padaku. Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa kujelaskan." Kataku. "Dan meskipun kujelaskan, kau hanya akan berpikir aku gila."

"Coba saja." Kata Maria tanpa basa - basi. "Hal - hal ganjil yang sudah terjadi tidak menunjukkan kau gila." Maria memegang pipiku. Aku sudah mendaratkan tamparan disana dan dia masih penyayang seperti ini.

"Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Telingaku mendengarnya. Aku bisa merasakannya," Maria berbisik." Bukan hanya aku. Semua yang dirumah yang diperintahkan untuk menjagamu juga mengalami hal yang sama."

Jantungku mulai berdetak lebih keras.
Aku takut.
Jangan,
Jangan sentuh mereka!

"Maria jangan menakutiku dengan berbisik seperti itu," Kataku pelan. "Apa maksudmu?"

Maria mengambil langkah mendekat. Dia berbisik. "Bayangan, suara - suara... " Bisikan Maria terpotong. "Aku tidak berniat menakutimu. Aku sendiri takut."

Maria mencermati wajahku yang menunggunya menyelesaikan kalimat. "Hal - hal aneh yang menakutkan terjadi, Lutfia."

Aku kehabisan kata - kata.
Maria benar.

Maria mendekat ke arahku. "Dan aku mulai yakin ini bukan hanya sekedar teror. Ini bukan hanya mimpi buruk yang kebetulan menghampirimu setiap malam. Bukan hanya luka yang kebetulan muncul. Tapi aku mulai yakin dan takut disaat bersamaan jika sesuatu ini menginginkan hal lebih darimu."






















Jangan lupa VOTE dan COMMENT.
Biar aku tahu kalian pernah ke sini. :-) <3 <3 <3

Please don't be the fucking silent readers ;-)

Gimana? Bingung? Atau penasaran?
Jawabannya akan kalian dapatkan di chapter selanjutnya ;-) #LotsOfLove
I burn it up and turn it up!

- Lutfia Ihwani Umar

Follow :

Twitter : @Lutfia_Umar
Instagram : lutfia_ihwani_umar






The Author #Wattys2016Where stories live. Discover now