Safe? I Hope

371 101 22
                                    

Aku bisa lari tapi aku tahu aku tidak bisa sembunyi.

- Lutfia Ihwani Umar




















Ketika bel pulang berbunyi aku langsung ke gymnasium sekolah. Diane Windsor dari kelas Matematika menghampiriku dan memberiku pesan bahwa aku dicari Jacob si kapten basket.

Aku pergi menemui Jacob dan dia mengatakan membutuhkan kelompok cheerleader-ku untuk kompetisi bebeberapa hari lagi. Aku sempat menyalahkannya karena baru memberitahuku. Tapi Jacob tidak mau tahu. Dia mau timku siap menyoraki mereka saat perlombaan. Plus, dia ingin formasi baru.

Formasi baru cheerleader tidak segampang itu dirubah. Tapi Jacob keras kepala. Dia terus mengatakan aku harus bertanggung jawab jika berantakan karena aku kapten cheers mereka. Dan itu artinya kelompok cheers-ku harus latihan hari ini juga.

Jacob pergi memberi pengumuman ke semua anggota cheers untuk latihan sekarang dan aku menuju ruang ganti.

Aku sedang melepas baju di ruang ganti saat luka sayatan yang belum kering di lenganku bergesekan dengan kain baju.

Perih.

Aku meringis kesakitan. Aku baru sadar aku memiliki lebam dan memar disepanjang tubuh. Lebam dan memar biru maupun merah menghiasi hampir setiap bagian tubuhku seperti pohon natal. Aku bahkan tidak berani melihat pantulan diriku yang sudah seperti zombie di cermin. (Aku harus berterimakasih pada pencipta makeup hingga bisa menyembunyikan memar - memar biru diwajahku).

Tidak ada siapapun di ruang ganti hingga aku bisa bersyukur tidak ada siapapun yang melihat keanehan di tubuhku. Keanehan yang tidak masuk akal. Keanehan yang jika di dengar hanya akan membuat orang berpikir aku gila. Aku tidak mungkin memakai outfits cheers yang mini dan memperlihatkan semua luka di tubuhku, kan?

Tidak. Aku tidak bisa latihan sekarang. Aku bahkan ragu apa aku bisa bergerak tanpa kesakitan di setiap bagian tubuh.

Kupkai semua bajuku kembali pelan - pelan jika kainnya bersentuhan dengan luka. Tapi ketika aku berjalan keluar, " Hey Captain, " salah satu anak cheers menyapaku.

" Aku merasa tidak enak badan sekarang. Aku mau pulang, " alasanku.

Anak - anak cheers dibelakang gaduh berargumen. " Latihan bagaimana? Kau cheer captain, " salah seorang menekan suara.

" Siapa yang akan membuat keputusan formasi? Jacob meminta formasi baru. "

" Kalian bisa- "

" Latihan cheers tanpa cheer captain namanya bukan latihan. "

" Kata siapa? Latihan saja- "

" Beberapa hari menjelang kompetisi dan kita bahkan belum latihan. "

Mereka mulai memberiku tekanan. " Kalau aku pingsan?! " tanyaku tegas.

Mereka diam.

" Apa yang akan kalian lakukan? " tanyaku dan mereka menatap sepatu masing - masing. Aku tidak bisa begitu saja memperlihatkan memar di tubuhku. Tidak mungkin aku latihan dengan pakaian tebal yang kupakai.

" Peregangan hari ini, siapkan ide formasi, dan aku tidak mau tahu besok latihan dan ide kalian sudah ada. "

Tanpa basa - basi aku berjalan melalui mereka keluar dari gymnasium sekolah. Kemudian Austin menghadangku dengan bola basketnya. " Hey, " sapanya.

Aku hanya menatap mata hazel-nya dan acuh berjalan.

Austin mengejarku dengan bola basketnya. " Dimana Annie? "

" Tanya Annie bukan aku. "

" Kita pulang bareng. "

" Greyson sudah memberitahuku, "

" Lalu kau mau kemana? Bukannya kau harus latihan? "

Aku acuh.

" Kau tidak mau menyorakiku bermain basket? " Austin mulai menggoda dan aku harus bisa menahan diri agar tidak menendangnya.

" Tidak enak badan. Aku harus pulang, " bohongku. Siapa yang tidak akan malu kalau memperlihatkan luka di tubuhnya yang mengerikan ke publik?

Aku merasa lebih baik mati daripada menanggung malu seperti itu.

Austin berhenti tepat dihadapanku dengan bolanya. Aku berhenti berjalan. " Aku tidak tahu apa yang salah denganmu. Sejak kapan kau menjadi semenyebalkan ini? "

" Bukannya sudah dari dulu? " aku mengangkat alis.

Austin hendak berargumen bahwa aku tidak pernah semenyebalkan ini saat pandangannya berhenti pada salah satu bagian di wajahku. Austin mengangkat daguku membuatku menatapnya. " Pipimu kenapa? "

Aku refleks menutup pipiku dengan tangan. Pertama Greyson dan kali ini Austin yang melihatnya. Aku berpaling. " Bukan apa - apa. " jawabku menyembunyikan memar.

" Seseorang melukaimu? "

Ya.

Tapi aku menggeleng memberitahunya Tidak.

Austin menarik tangan yang kugunakan menutup pipiku yang memar. " Someone did this to you? "

Yes.

Tapi aku menggeleng memberitahunya No.

" What do you mean when you nod your head yes but you wanna say no? "

" Kau mau menyanyikanku lagu What Do You Mean? " candaku.

" Ya, jika perlu. " Austin membuang bola basketnya ke samping dan berjalan maju mendekat mebisikku. " You knew that i care about you, right? " Austin memegang lenganku.

Aku mengangguk.

" You would tell me if someone was hurting you, right? "

Aku mengangguk.

" You promise? "

" I promise, "

Sorry I can't tell you Austin. I don't even know what the hell is going on in my head right now.







.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.




VOTE & COMMENT

COMMENT yang banyak, aku suka dapat comment.

BIAR AKU TAHU KALIAN PERNAH KE SINI.

SO I COULD KNOW THAT YOU GUYS WERE HERE.



VOTE

VOTE

VOTE

VOTE

VOTE

VOTE

VOTE




SEBARKAN CERITA INI !!!

- Lutfia Ihwani Umar












The Author #Wattys2016Where stories live. Discover now