TIGA PULUH DELAPAN : Posesif

162K 14.3K 473
                                    

"Kamu tahu kan aku punya kakak yang namanya Alvaro?" Lalisa mengangguk, meskipun sempat mengernyitkan dahinya heran. Mengapa Samudra menyebutkan nama kakaknya itu? Bukankah ia sudah meninggal?

"Kakak kamu kan udah meninggal Sam?" Kini giliran Samudra yang mengangguk, sedetik kemudian Samudra terbatuk.

"Aduh Sam udah ceritanya besok aja, sekarang mending kamu istirahat yang bener biar cepet sehat." Samudra menggelengkan kepalanya tanda tidak setuju dengan ucapan Lalisa. "Nggak, aku mau cerita sekarang." Lalisa menghembuskan napasnya pasrah.

"Alvaro cuma beda dua tahun dari aku, tapi sikapnya itu selalu bikin aku kesal. Dia sama sekali nggak bisa lebih dewasa dari aku." Lalisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena tidak mengerti. "Maksudnya?"

"Dia selalu berpikir kalau kematian ibuku semuanya salahku." Jelas Samudra sambil mengusap wajahnya perlahan.

"Dari kecil dia udah nggak suka, bahkan dia sering bilang kalo aku nggak pantes hidup." Lalisa meringis prihatin.

"Dan nggak tahu kenapa ayahku seperti bersikap bahwa apa yang selalu dipikirkan dan diucapkan Alvaro itu benar."

"Dia selalu pilih kasih, apa yang dia mau selalu diturutin. Cuma almarhumah nenek yang dulu nerima aku dengan lapang dada." Mata Samudra mulai terasa panas, tetapi ia tidak ingin setetes air matapun jatuh ke pipinya. Itu terlalu lemah untuk ukuran anak laki-laki.

"Kalo aku minta ya harus ngelakuin sesuatu dulu, baru dikasih. Sehingga apa yang aku dapetin itu selalu aku jaga baik-baik."

"Tapi Alvaro nggak pernah buat berhenti benci sama aku Lis, apapun yang aku punya pasti dia rebut." Samudra tertawa sumbang. "Apapun."

"Mulai dari mainan yang aku beli dari uang pemberian nenek, dia selalu rebut dan bilang 'anak pembawa sial nggak seharusnya dapet apapun', atau piala-piala yang aku dapetin dari lomba-lomba selalu sengaja dia senggol sampe patah." Lalisa menggenggam tangan Samudra yang sedang mengepal karena emosi.

"Segitu bencinya dia sama kamu?"

"Mungkin." Jawab Samudra sambil mengerutkan dahinya karena pusing mendera.

"Temen-temen aku pun dia hasut buat ngejauhin aku, ya hasilnya gini. Aku jadi terbiasa sendirian." Lalisa mengerjapkan matanya berkali-kali, matanya terasa panas mendengar apa yang diceritakan Samudra. Bukankah saudaranya itu sudah keterlaluan?

"Aku nggak punya apapun selain diri aku sendiri, semuanya dia rebut." Ucap Samudra penuh emosi.

"Kenapa kamu nggak ngelawan?" Samudra berdecih.

"Dia pinter cari muka, siapapun juga bakalan simpati sama orang yang kehilangan ibunya. Bukan sama orang yang menyebabkan ibunya meninggal."

"Tapi kan kamu juga kehilangan ibu kamu Sam." Samudra kembali tertawa sumbang.

"Nggak ada yang peduli dengan keadaan itu." Agak lama keduanya sama-sama terdiam.

"Apa bener-bener nggak ada temen yang percaya sama kamu?" Samudra menggelengkan kepalanya pelan.

"Sebenernya ada tiga orang yang dulu temenan sama aku dari kecil. Dua cowok dan satu perempuan, kita udah temenan bahkan dari tk dan selalu bareng."

"Aku nggak tahu awalnya gimana tapi temen aku yang cewek itu suka sama aku, namanya Tamara."

"Sedangkan yang cowok namanya.." Samudra mengambil napas dalam-dalam sebelum menyebutkan dua nama yang belum ia ucapkan. "Andre sama Kean."

"Dan lagi, Alvaro ngehasut kedua temen cowokku pas Tamara meninggal karena leukimia." Lalisa membulatkan matanya.

My Possessive Bad Boy (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now