Part 15 ~ It's A Best Day Ever

690 47 2
                                    

Happy reading, Guys :)


_______________________________________________________

Rumah itu bercat putih dan bertingkat dua. Ada sebuah taman yang cukup besar di halaman depan. Dengan air mancur tinggi dan bertingkat di tengah-tengah. Di salah satu sudut taman, ada sebuah gazebo kecil. Dilengkapi tatami* untuk alasnya yang terbuat dari jerami.

Mobil itu berhenti di halaman depan. Sae sangat takjub melihat bangunan di depannya.

"Ini rumah kamu?" tanya Sae.

Fuji terdiam. Dia malah sibuk mematikan mesin dan segera ke luar mobil. Sae tidak tersinggung sama sekali dengan sikap Fuji saking sibuknya menikmati bangunan rumah Fuji.

Sae ikut keluar. Mengikuti Fuji yang mulai memasuki bangunan berkesan klasik itu. Pintu rumah itu besar. Sangat besar dan tingginya kurang lebih dua meter. Dan,

Siapa dua orang yang ada di kiri-kanan pintu utama? Dua orang itu berwajah sangar. Berpakaian hitam dan berjaket kulit dengan warna senada. Sae seperti pernah melihat salah seorang diantaranya. Dia berusaha mengingat.

"Ah? Bukannya mereka orang yang pernah mau merampokku?" batin Sae.

Sae mulai waspada. Kenapa preman yang mau merampokanya bisa ada di rumah Fuji? Berjaga di pintu masuk, pula! Apa mereka kenal dengan Fuji. Tapi... ah! Tidak mungkin. Sae segera mengenyahkan semua pertanyaan di otaknya.

Salah satu penjaga pintu yang dikenal Sae itu hanya nyengir kuda saat melihat Sae.

"Duduk dulu di sofa."

Sae hanya mengangguk. Fuji meninggalkan dirinya sendiri di ruang tamu. Sae melihat sofa berwarna krem di sisi kanannya. Dia melangkah mendekati dan duduk di atas sofa. Mulai mengeluarkan alat tulisnya. Tak lupa buku-buku berukuran tipis dan sedang yang tadi dipinjamnya di perpustakaan.

Fuji datang dengan membawa laptop dan alat tulis ala kadarnya. Meletakkan laptop itu di meja kaca depan sofa dan menghidupkannya. Sae tak henti-hentinya mengagumi rumah itu. Ada lampu kristal berukuran besar di langit-langit bagian tengah. Ruangan itu juga terasa dingin dengan AC besar di sisi kiri ruangan.

"Jadi, kita mulai dari mana? Aku tadi pagi sudah meminjam buku dari perpustakaan."

Fuji mengembuskan napas. "Kau baca saja dulu. Ambil poin pentingnya."

Sae hanya mengangguk kecil. Mulai membuka buku itu dan membaca. Fuji terlihat sibuk mengetik. Jari-jari tangannya menari di atas keyboard. Terlihat cepat sekali. Sae menggaris bawahi kalimat yang terlihat diperlukan.

"Senbazuru...," gumam Sae.

"Bisa kau mendektekan apa itu senbazuru?"

Sae tersenyum, dan mengangguk. "Hmm... Senbazuru adalah kumpulan berbentuk (鶴 ) yang dirangkai bersama dengan benang."

Sae mulai mendekte. Sedangkan Fuji, dia mulai mengetik apa yang didektekan oleh Sae. Dia mengetik dengan sangat cepat. Membuat Sae takjub dan sempat kelimpungan karena lupa sampai mana dia mendekte.

Dalam aktivitas mendektenya, Sae menahan rasa dingin yang mulai menyelimuti tubuhnya. Hidungnya juga mulai terasa geli. Sekilas, dia melirik ke AC besar itu. Jika AC itu tidak segera dimatikan, Sae yakin. Dia akan,

"Hatchi!"

Bersin.

Baru saja Sae memikirkan yang akan terjadi padanya, hal itu sudah terjadi terlebih dulu. Membuat Sae menggesek-gesek hidungnya yang mulai terasa sangat gatal dengan jari telunjuk. Fuji juga langsung menghentikan aktivitas mengetiknya. Menoleh ke arah Sae dengan tatapan aneh. Yang tidak bisa Sae baca sama sekali.

Sae terkekeh. "Maaf. Aku tidak tahan dengan ACnya. Dingin sekali."

Fuji terdiam sejenak. Nampak berpikir. Lalu, dia bangkit. Membuat Sae bingung.

Sae mengambil tisu di tasnya dan mulai menyeka ingus yang mulai keluar. Itulah Sae. Jika dia kedinginan, dia akan terkena flu mendadak. Alergi terhadap hawa dingin. Apalagi jika hawa dingin itu tidak alami. Contohnya dari AC. Dia lebih suka udara segar dari alam.

"Pakai ini."

Fuji menyampirkan sebuah jaket pada bahu Sae. Membuat Sae terkejut. Juga penasaran. Bukankah Fuji bisa mematikan AC itu saja daripada meminjaminya jaket. Sebuah jaket yang terlalu kebesaran untuk ukuran tubuh Sae yang lebih kecil daripada ukuran tubuh wanita Jepang pada umumnya.

Sae merengut. Bahkan capuchon jaket ini menutupi wajahku. Tingkah Sae saat merengut itu membuat Fuji menyunggingkan senyum yang sangat tipis. Sae pun tidak mengatahui hal itu.

Sae menurunkan capuchon jaket itu dengan kesal. Dan, belum hilang rasa penasaran Sae, dia bertambah terkejut lagi. Dia mulai mengenali jaket itu. Jaket hitam ini...

_________________

*semacam tikar dari Jepang yang dibuat secara tradisional

_______________________________________________________


Ditunggu krisannya :)

Gomen ne, Summer [Beginner]Where stories live. Discover now