7. Bulan dan Matahari

7.1K 757 234
                                    

"Everyone wants to be the sun that lights up your life. But, I'd rather be the moon that shines on you during your darkest hours when you forget the warmth of the sunlight."

MINGGU. Orang bilang ada kekuatan yang luar biasa dari sebuah hari Minggu. Hari dimana tak ada beban harus berkutat pada buku-buku pelajaran, dosen yang menagih revisi skripsi atau meeting dengan para petinggi perusahaan. Minggu adalah hari favorit sejuta umat. Termasuk Candra.

Namun, hari minggu ini cowok itu seperti merasakan firasat yang buruk. Seperti sesuatu akan terjadi setelah ini. Ia lalu mencoba mencari sumber dari segala firasat buruknya. Ia keluar kamar dan turun ke bawah. Mendapati Mama dan Papanya sedang menikmati sarapan bersama di meja makan dengan tenang. Sebuah kejadian yang sangat langka.

"Candra? Udah bangun sayang. Sini sarapan bareng Mama sama Papa," Mamanya yang melihat Candra di ambang pintu ruang makan langsung berdiri dan menarik tangan anak lelakinya lembut, mengajaknya duduk di meja makan. Mamanya lalu menuangkan susu di gelas Candra, dan mengulurkannya.

"Diminum dulu, Sayang. Kamu mau sarapan roti atau nasi goreng? Biar mama ambilin." Mamanya bertanya.

"Roti aja, Stroberi." Candra menjawab singkat.

"Gimana sekolahnya, Ndra?" Papanya tiba-tiba berkata. Membuat ia memalingkan wajahnya ke arah Papa. Menatap lelaki yang memiliki wajah serupa dengannya namun dalam versi dewasa.

"Baik," Candra menjawab juga sama singkatnya.

"Papa kemarin dapat laporan kamu habis berantem lagi. Bisa Papa tahu alasannya?"

"Ya biasalah ada yang cari gara-gara sama Andra." Candra mengerutkan dahinya. Ia seperti déjà vu. Ia teringat kejadian sepuluh tahun yang lalu. Waktu yang sama dan kejadian yang serupa. Saat keluarganya masih terasa seperti keluarga.

"Andra mau sarapan apa, Sayang?" Mama bertanya dengan sayang pada anak satu-satunya itu.

"Roti ya, Ma! Pakai selai stroberi! Yang banyak!" Mama tertawa dan mencium pipi Candra karena tingkah menggemaskan anaknya yang masih duduk di bangku SD itu.

"Papa papa! Kemarin ada yang matahin leher Thor aku! Namanya Gogo. Dia anak nakal di kelas. Andra gak suka sama dia, Papa!" Adu Candra dengan wajah yang cemberut.

Mendengar aduan Candra itu, Papa tersenyum lembut. Ia mengacak rambut anaknya yang sudah mulai gondrong itu. "Karena Gogo matahin leher Thor Andra, Andra terus tendang kaki Gogo? Andra kan bisa minta dibeliin Thor yang lain lagi sama Papa. Papa bakalan beliin. Tapi nanti kalau kaki Gogo sakit dan kenapa-kenapa gimana? Papa gak bisa beliin kaki buat Gogo."

Candra mendengar itu lalu memutar mata dengan lucu. "Gogo gak bakal kenapa-kenapa, Papa. Dia itu lebih gemuk dari Andra. Lagian setiap Andra punya mainan mesti dirusak sama Gogo terus! Gogo sukanya cari gara-gara sama Andra!"

Candra tersadar dari lamunannya dan meringis membayangkan satu dari sedikit masa lalu nya yang begitu manis itu. Jika boleh memilih, ia ingin ditakdirkan oleh Tuhan agar terus di bangku SD dan tidak beranjak dewasa. Ia ingin kambali pada masa sekolah dasarnya dimana masalah terbesar dalam hidupnya kala itu hanya Gogo yang suka merusak action figure koleksinya.

"Kamu udah dewasa Candra. Gak seharusnya kamu berantem terus begitu," Papanya berkata dengan pelan.

Melihat ada yang tidak beres ia langsung berkata, "Udah deh langsung to the point aja. Papa sama mama mau bicara apa?" walaupun ia sangat tidak menyukai suasana keluarganya, ia selama ini berusaha selalu bersikap sopan pada kedua orangtuanya itu.

Mama dan Papa menghela nafas bersamaan. Tau bahwa anak mereka ini cukup pintar untuk mengetahui bahwa sarapan ini kamuflase guna membahas suatu hal.

THE NEW YOU [Completed]Where stories live. Discover now