20. Her Mother's Permission

5.6K 637 325
                                    


"His unkindness may defeat my life, but never taint my love." - William Shakespeare, Othello.

"Kenopo to cah ayu kok kesusu*?"

"Sampun terlambat, Bu." Ratih mengambil kunci motor, menjawab pertanyaan ibunya dengan bohong mengapa ia terburu-buru. Gadis itu harus segera bergegas jika tidak ingin berangkat sekolah bersama Candra. Ia sedang dalam mood malas melihat wajah lelaki itu sekarang.

"Loh? Sekarang itu baru jam enam, nduk. Sarapan dulu!"

Ratih menggeleng, "Takut macet, Bu. Nanti aku sarapan di kantin aja ya? Assalamualaikum," gadis itu mencium tangan ibunya dan bergegas meninggalkan rumah setelah ibunya menjawab salam.

Ketika sampai di ambang pintu, Ratih teringat sesuatu. Ia lantas membalikkan badan dan menatap Ibunya. "Bu... Nanti kalau ada cowok yang jemput aku, bilang aja Ratih udah berangkat naik bus gitu ya?" gadis itu berkata canggung.

"Kamu kan berangkat pakai motor? Kok Ibu disuruh bohong sih?" Sang Ibu menatap anak gadisnya itu dengan bingung. Sangat aneh karena ia tahu bahwa Ratih sangatlah tidak suka orang yang berbohong. Namun sekarang malah anaknya itu menyuruhnya mengatakan hal lain tidak sesuai kenyataan.

Ratih meringis. "Aduh Ibu... Ini tuh genting banget tau! Darurat! Gakpapa kok sekali-kali berbohong demi kebaikan."

"Hush! Ngawur ya kamu. Tetep aja bohong itu gak boleh, Nak. Kenapa? Lagi marahan sama abang ganteng itu ya?" Ratih jengah ketika lagi-lagi Ibunya mengatakan Candra adalah Abang ganteng.

"Ya gitu deh. Yaudah, nanti terserah Ibu mau bilang apa sama Candra. Doain aja ya anak Ibu satu ini nanti di sekolah masih utuh gak tinggal nama. Kan gawat kalau aku di sate sama itu cowok." Ratih keluar rumah dan menghampiri motor matic-nya.

Ibu mengikuti langkah Ratih ke halaman luar sambil geleng-geleng kepala. Melihat tingkah anak gadisnya jika bersama Candra selalu seperti kucing dan tikus.

"Udah ya, Bu! Ratih berangkat. Assalamualaikum." ucap Ratih sambil menstater. Gadis itu buru-buru melajukan motornya keluar pagar. Lebih cepat lebih baik biar gak papasan sama Candra. Batinnya.

"Waalaikumsalam. Hati-hati Ratih! Jangan ngebut!" teriak Ibu Ratih, tidak yakin jika anaknya itu dengar atau tidak.

Wanita berumur empat puluhan itu melangkahkan kakinya hendak menutup pagar, ketika ia akan menguncinya. Deru mesin mobil berhenti tepat di depan pagar. Membuat wanita itu mendongakkan kepala dan dari sebuah mobil keren itu--seperti mobil-mobil untuk naik gunung--turunlah seorang cowok dengan seragam sekolah.

"Candra? Tante kira siapa. Habis mobilnya beda gak kaya kemarin-kemarin. Kamu mah perasaan tiap kesini ganti terus mobilnya!" Ibu Ratih membukakan pagar agar ia bisa keluar. Candra lantas mencium punggung tangan Ibu Ratih dan tersenyum salah tingkah dengan ucapan beliau barusan.

"Hehehe iya ini pinjam punya Papa tadi." Candra menjawab sekenanya, "Emm... Ratihnya udah siap, Tante?" lelaki itu melanjutkan.

"Eh? Ratih udah berangkat barusan naik motor..." wanita itu berkata tidak enak. Apalagi melihat raut wajah Candra yang langsung berubah menjadi muram.

"Oh? Udah berangkat ya tante?" lelaki itu mencoba tetap tersenyum kepada wanita di depannya ini. Padahal sebenarnya dalam hati sudah penuh dengan segala umpatan dan emosi yang dipendamnya karena Ratih berani menolak berangkat bersama seperti ini. Lihat aja ntar di sekolah! Batin Candra.

"Iya. Barusan aja. Emm... Candra... Maafin Ratih ya? Mungkin anak itu udah kangen mau berangkat bareng Tiffany. Makhlum motor dia itu baru sembuh keluar dari bengkel."

THE NEW YOU [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang