30. Is that drug?

4.7K 539 336
                                    

"Aku selalu menanamkan dalam pikiranku bahwa kekasihku tak seburuk yang selama ini orang-orang lihat. Sampai sesuatu yang kutemukan hari ini membuatku kebingungan. Apakah aku masih mempercayai dirinya?" -Nirwasita Ratih.




"Jadi, tanah Andosol itu tanah apa, Can?"

"..."

Ratih menyentakkan kepalanya kebelakang. Ia geleng-geleng kepala melihat Candra tidak menjawab pertanyaannya. Hari ini mereka niat belajar bersama untuk ulangan Geografi besok. Namun--bisa ditebak--pada akhirnya hanya Ratih yang belajar. Tuan besar sedari tadi sibuk dengan game di HPnya sambil bersandar santai di ujung kepala ranjangnya. Ya, sekarang mereka berdua sedang belajar bersama di kamar Candra.

"Candra! Dengerin pertanyaan gue! Katanya mau belajar!"

"Hmmmm, ulangin coba yang."

Ratih mendesah. Ia melanjutkan acara "mencongak" geografi-nya. "Andosol tanah apa?"

"Vulkan. Tanah gunung. Paling subur," jawab Candra santai masih sambil memainkan game di ponselnya.

Kok bener? Candra kok tau?

"Kalau tanah Grumusol?"

"Tanah lempung." Bener!

"Regosol?"

"Banyak pasir." Lah bener lagi!

"Terakhir ya, Can. Tanah Laterit?"

"Tanah tua. Tanah yang unsur haranya udah gak ada," jawab Candra sekali lagi. Masih dengan nada santai seolah-olah pertanyaan-pertanyaan itu serupa 1+1=2 yang anak TK pun bisa menjawab.

Ratih memutar bola matanya jengah. Satu hal yang membuatnya sebal adalah ada beberapa orang yang tak perlu belajar banyak dan dia sudah langsung paham. Seperti Candra, anak ini tidak pernah belajar namun selalu paham akan segala hal. Jika biasanya beberapa orang kuat di suatu pelajaran namun ada beberapa pelajaran yang lemah. Tidak dengan cowok itu, ia pintar dalam semua mata pelajaran. Sekali lagi, tanpa harus mati-matin belajar siang malam seperti Ratih.

"Kenapa, Yang?" Candra menghentikan game di ponselnya, ia melirik pacarnya yang memasang wajah kusut.

"Jangan pinter-pinter jadi orang! Nanti ranking gue turun!" ucap Ratih sewot.

Candra terkekeh. Ia mengacak puncak rambut gadis itu. "Tenang. Kalau kamu belajar yang rajin pasti tetep ranking satu terus se kelas penjurusan."

"Ya terserah apa kata lo deh!"

Candra mengerutkan keningnya. "Kok manggilnya masih lo-gue sih? Kita kan udah pacaran?"

"Pacaran gak harus manggil aku-kamu, Candra. Gak ada yang berubah dari Candra-Ratih yang dulu. Gue pingin kita masih kaya waktu temenan. Cuma status aja yang berubah. Lagian geli juga manggil aku-kamu." ujar Ratih memberi pengertian.

"Geli? Kamu gak sayang aku ya?" Candra tiba-tiba murung. Perasaan tidak diterima itu muncul lagi. Dirinya hanya ingin diperhatikan juga ingin merasa disayangi. Salahkah ia berharap kepada kekasihnya sendiri?

Ratih meringis. Sepertinya ia salah berbicara tadi. Melihat Candra mengepalkan tangannya erat, nafasnya mulai naik turun. Gadis itu tiba-tiba diserang ketakutan. Serius! Ia lebih memilih mati menahan geli mendengar Candra lagi alay-alay an daripada melihat cowok itu dalam keadaan emosi. Candra dalam emosinya seperti ia akan memunculkan sosok singa buas yang tertidur dalam dirinya.

"Candra? Bukan gitu maksudnya--"

"Terus apa?!"

Ratih menggenggam dua tangan Candra yang mengepal. Ia berkata lembut, "Gue sayang lo, Can. Lo harus percaya itu. Gue cuma agak kurang nyaman aja sama panggilan aku-kamu buat pacaran."

Mendengar pernyataan sayang Ratih itu membuat dirinya lebih tenang. "Serius kamu sayang aku?" tanya Candra sekali lagi.

Ratih mengangguk. "Iya. Aku sayang kamu," jawab gadis itu jujur. Nyatanya ia memang menyayangi cowok itu.

Candra tersenyum. Kelegaan melingkupi hatinya. Tak ada yang lebih menggembirakan ketimbang mengetahui engkau ada yang menyayangi--walau hanya seorang. Senyuman itu tertular juga pada Ratih, menampikan dua lesung pipi gadis itu. Lama mereka saling bersitatap. Senyuman Ratih adalah ujian baginya. Sedangkan senyuman Candra adalah anugrah bagi gadis itu. Ratih merasa, lelaki ini membawa begitu banyak luka di hidupnya. Dan tugas gadis itu untuk menyembuhkan segala luka. Tugasnya membuat senyuman Candra selalu terbit seperti pelangi yang muncul setelah hujan turun. Akankah ia sanggup?

Entah siapa yang mulai terlebih dahulu. Tatapan mereka semakin dalam, masuk ke dalam pekatnya iris mata masing-masing. Dorongan itu juga semakin besar. Candra membawa tangannya ke dagu kekasihnya, tatapannya berpindah pada bibir merah muda gadis itu. Cowok itu semakin memajukan wajahnya, mendekatkan bibirnya dengan bibir kekasihnya. Sementara Ratih hanya bisa diam tak berkedip. Jantungnya berpacu dalam tempo cepat. Ia menatap bibir Candra yang tinggal beberapa senti lagi akan menempel di bibirnya. Candra juga sudah mulai memejamkan matanya.

Namun Ratih merasa ada yang salah dengan dirinya sekarang ini. Sudahkah gadis itu mengatakan kalau ia sedang flu? Cuaca tak menentu. Kadang hujan dan kadang bisa sangat panas membuat daya tahan tubuh Ratih akhir-akhir ini menurun dan ia diserang flu. Please jangan sekarang! Please! Gadis itu terus merapalkan doa dalam hati namun rasa gatal di hidungnya semakin menjadi-jadi. Ia ingin menjauhkan wajahnya sekarang tapi entah mengapa tak mau bergerak sama sekali. Ratih bisa merasakan hembusan nafas Candra sekarang. Pertanda wajah mereka sekarang begitu dekat. Ia melihat bibirnya hanya berjarak satu senti dengan bibir cowok itu. Satu detik lagi bisa dipastikan mereka berciuman, dan...

HACIHHHHH

Anjir! Ratih mengumpat dirinya sendiri. Ia jauhkan wajahnya masih sambil memejamkan mata. Ia menutup hidung dan mulutnya dengan satu tangan. Tidak berani menatap Candra yang entah bagaimana reaksinya sekarang. Pasti wajah cowok itu juga penuh ingus hasil bersinnya tadi. Dasar bersin gak tahu tempat! Batinnya kesal.

Hening lama sampai suara Candra terdengar. "Flu kamu makin parah ya?"

Ratih kaget dengan pertanyaan Candra itu. Kenapa dia malah gak marah-marah? Gadis itu membuka matanya pelan. Candra menatapnya dengan pandangan khawatir. Mengabaikan sama sekali "hasil bersin" di mukanya.

Ratih meringis. "Sori, Can."

Candra tersenyum, "Gakpapa. Aku cuci muka dulu ya? Nanti aku bawain air hangat sama obat. Di rak meja belajar nomor dua ada tissu. Kamu ambil aja." setelahnya cowok itu pergi keluar kamar. Meninggalkan Ratih dengan banyak rasa sesal dan malu sendiri.

Gadis itu berjalan mendekati meja belajar Candra. Berniat mengambil tissu untuk mengelap ingusnya. Ia mengikuti intruksi Candra untuk membuka rak nomor dua. Dan memang benar ada tissu disana. Ketika ia akan menutup pintu rak itu. Sebuah bungkusan kecil menarik perhatiannya. Salahkan rasa penasarannya yang teramat tinggi. Ratih ambil bungkusan itu, melihat isinya serbuk seperti pasir berwarna putih. Jantungnya kembali berpacu. Segala prasangka buruk berkecamuk di otaknya sekarang. Ini jelas bukan obat! Lalu ini apa? Dan rentetan kejadian di sekolah akhir-akhir ini menambah keyakinan akan hipotesanya.

Ini narkoba?

***

TBC

Terimakasi untuk segala masukan, koment, vote nya💙 Aku sangat menghargai itu🙏


Laras.

THE NEW YOU [Completed]Onde as histórias ganham vida. Descobre agora