17. Sebuah Janji

5.6K 712 292
                                    


"Seperti pasir dalam genggaman, ia akan lepas butiran demi butiran, tak peduli seberapa kuat kita telah menggenggamnya. Aku juga hanya perlu waktu untuk menunggumu pergi, walaupun diri ini sudah mencoba mempertahankan dirimu."



"...Ndra, kayanya perlu satu pemain cadangan lagi deh buat gantiin adek kelas itu..."

"Gue setuju usulnya Pebri, Bos! Masa kemarin latihan baru gue senggol dikit aja udah tumbang! Dribble-nya juga lemah. Ya walaupun dia menang di shooting-nya sih. Tapi kan gak bisa gitu!" Pebri menanggapi usulan Dani. Kini Candra dan ketiga sahabatnya sedang berada di restoran asing terkenal yang menyediakan junkfood.

"Bos?" Dani heran karena sedari tadi Candra tidak menanggapi ucapannya. Si bos besar hanya sibuk memandangi ponsel dan seperti terlihat--gelisah.

Bagas yang memang tidak pernah sabaran langsung saja menggebrak meja. Bodo amat ntar kalau dipecat sama Bos. Batinnya. "WOY!"

Candra langsung tersentak. "Eh anjir! Kaget gue, apaan sih lo pada?"

Pebri memutar bola matanya, "Lo yang apaan! Kita itu daritadi ngomong udah sampe berbusa tapi gak lo tanggepin. Tau kagak kita lagi bahas apaan coba?"

Candra menyeringai. "Taulah, kalian lagi bahas bikini barunya Gigi Hadid kan? Otak kalian kan isinya daleman semua! HAHAHA--"

Belum sempat Candra menyelesaikan tawanya, lelaki itu harus meringis karena mendapat jitakan dari Pebri. "Itu sih lo aja ya! Kurang fokus lo? Butuh Aqua?" tanya Pebri sambil mengangkat sebelah alisnya.

Candra mendesah pelan, ia menatap ketiga sahabatnya dengan serius, "Gak tau nih, feelings gue gak enak daritadi. Mau ada apaan ya?"

Bagas menjadi heran. Selama lima tahun berteman dengan Candra, ia tidak pernah melihat lelaki itu gundah gulana seperti ini, "Ya feelings ke siapa?" Bagas akhirnya bertanya.

"Gak tahu juga. Tapi daritadi gue kepikiran Ratih." Lelaki itu menjawab benar adanya.

"Ratih? Hmm yaudahlah telfon Ratih sekarang, pastiin keadaannya." Dani menanggapi ucapan Candra, kedua teman yang lainnya mengangguk membenarkan.

Candra lagi-lagi mendesah. "Gak semudah itu tau! Akhir-akhir ini kan gue udah gak deket lagi sama si Ratih. Gak mungkin kan tiba-tiba sekarang gue telfon dia? Ya bukannya gengsi sih, tapi mau ditaruh dimana muka gue?"

Pebri berdecak pelan, merutuki kebodohan Bosnya yang dari dulu memang nilainya nol besar soal urusan cewek. Ia yang memang paling cerewet ketimbang Dani dan Bagas langsung memberi petuah pada Candra bak seorang motivator super,

"Gini ya, Candra Mahesa Daraswara yang gantengnya ngalahin kambing! Lo bilang daritadi feelings lo gak enak soal Ratih? Fine. Cara satu-satunya menjawab semua itu cuma lo telfon Ratih sekarang dan pastiin semuanya. Lo gak mau karena gengsi kan? Yaudah berarti lo sampe lebaran monyet juga bakal mendem feelings gak enak lo itu dalam hati. Se-simple itu sih. Ribet amat idup lo!"

"Lo gak ada di posisi gue sih!" Candra menanggapi ucapan Pebri tersebut.

"Ye gak ada yang mau juga ada di posisi lo!" ucap Dani.

"Ahelah dari pada kelamaan mending gue aja yang telfon sini!" Bagas langsung merebut HP Candra dan menelfon Ratih.

"Eh, Gas! Sialan lo, balikkin HP gue sini!" Candra seketika kelabakan melihat Bagas yang sudah menempelkan HPnya di telinga. Lelaki itu langsung merebut HPnya. Ingin langsung mematikan namun panggilan di seberang sudah dijawab. Ia melotot pada Bagas dan mengepalkan tangannya, seolah berkata 'lihat lo ntar!' -si Bagas hanya tertawa melihat itu.

THE NEW YOU [Completed]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum