26. Aunty Nilam

4.5K 503 63
                                    

Jakarta, delapan tahun yang lalu.

Candra's

Aku berhasil mendapatkan juara kelas lagi. Biasanya aku akan sangat senang jika mengetahui itu, namun tidak hari ini. Wali kelasku--Bu Nawang--sedari tadi tak henti-hentinya memberikan pujian kepadaku. Katanya, aku adalah murid yang paling ia banggakan. Penurut, cerdas dan selalu sopan. Aku mendengus, sudah bosan dengan segala pujian itu.

Hari ini, kami semua berkumpul untuk pembagian rapor semester satu. Aku duduk gelisah menunggu seseorang--atau lebih bagus lagi dua orang--yang akan mengambil rapor hasil belajarku selama ini. Seharusnya orang tua yang mengambil, namun firasatku mengatakan Mama dan Papa tidak akan datang, lagi.

"Candra? Dimana Mama atau Papamu, Nak? Baru diperjalanan ya?" Bu Nawang bertanya kepadaku. Tatapan wali murid dan teman-temanku juga beralih tertuju padaku sekarang. Aku merasa ruangan kelas ini akan memakanku hidup-hidup. Aku merasa semakin kecil disini.

Kuremas dua tanganku. Aku hanya bisa menggeleng. Pasrah jikalau takdir akan menertawakanku lagi nanti. Biasanya Mama dan Papa tak pernah absen mengambil raporku. Mereka selalu bersemangat ketika menerima laporan perkembanganku yang membanggakan ini. Sampai setahun belakangan, semenjak Mama dan Papa mulai sering bertengkar. Mereka tak pernah datang ke sekolahku lagi. Lalu salahkah aku jika memohon untuk kali ini saja, mereka akan datang? Aku juga ingin seperti teman-temanku yang didampingi orang tua mereka.

Blak.

Tiba-tiba pintu ruang kelas terbuka. Dan seorang wanita tua di pintu sana membuatku membelalak kaget. Disana, berdiri Mbok Yem--pembantu dirumahku--yang datang dengan menenteng tas belanjaan di kedua tangannya. Tas yang sering dipakai Mbok Yem jika pergi ke pasar

"Ngapunten* Aduh! Saya telat ya? Makhlum tadi di pasar nego cabe dulu, Buk. Tahu lah cabe sekarang harganya lagi mahal-mahalnya, jeng. Candra? Maafin simbok ya telat?" ucapan mbok Yem itu sontak membuat semua orang yang ada di kelas tertawa. Sedangkan aku semakin menundukkan kepalaku, menutupi air mata yang mulai menetes. Aku tahan sebisaku agar tidak menangis. Bagaimanapun aku ini anak laki-laki. Dan laki-laki tidak boleh menangis.

"HAHAHAHAHAHAHAHAHA."

"CANDRA KAMU ITU ANAKNYA PEMBANTU YA?!"

"HAHAHAHA SIMBOKNYA CANDRA PEMBANTU!"

Bukan! Mamaku bukan Pembantu. Aku bukan anak pembantu!

Aku tidak tahan lagi mendengar olok-olokan teman-temanku itu. Kulangkahkan kakiku berlari cepat meninggalkan kelas. Meninggalkan teman-teman yang sedang menertawakanku, sepertinya takdir juga ikut menertawakanku.

***

Semenjak kejadian Mbok Yem yang mengambil rapotku itu. Hari demi hari di sekolah harus aku lewati dengan selalu mendengar cemoohan teman-temanku yang mengatakan jika aku adalah anak pembantu. Aku dijauhi dan menjadi tidak punya teman lagi. Biasanya, sejak dua tahun kemarin Tante Nilam yang selalu menggantikan orang tua ku untuk mengikuti acara-acara di sekolah. Namun entah kenapa kemarin Mbok Yem yang mengambil raporku.

"Hei, Candra!" Gogo--teman satu kelasku sedari dulu--menghampiriku yang sedang duduk sendiri di bangku taman ini. Gogo membawa beberapa teman-temannya yang setia mengikutinya kemanapun dia pergi. Persis seperti induk ayam dan anak-anaknya.

"Ada apa?"

Gogo menyeringai. Aku melihat wajahnya yang bulat kemerahan itu tambah menjadi seperti babi. Gogo membuka tutup wadah minumnya. Aku melihat isinya seperti jus. Mungkin jus jambu atau stroberi karena warnanya merah muda seperti itu.

THE NEW YOU [Completed]Where stories live. Discover now