16. Tersedak

71.7K 6.8K 116
                                    

"Coba bayangkan sejenak misalkan ada aku, yang menemani hari demi hari yang tak terhitung. Misalkan itu aku, yang terakhir untukmu."

Himalaya - Maliq & D'Essentials

***

Entah bagaimana caranya mereka bisa sampai di sini. Setelan Alta dan Erky yang tidak cocok dengan supermarket membuat mereka sesekali dipandangi oleh orang lain yang ada di sana. Tapi sepertinya cewek di depannya, yang sedang asik memilih bumbu makanan, tampak tidak perduli.

Ia asik memilih tepung bumbu yang akan digunakannya untuk menggoreng fillet gurame. Hampir saja jatuh, jika tidak ditahan oleh Erky, ketika akan berjongkok. "Mau asam manis atau digoreng kering? Atau dua-duanya?"

"Udah rapi gini, kamu beneran mau masak?" tanya Erky.

Alta mendongak, melihat Erky yang sedang memperhatikannya sambil memainkan troli belanja yang sudah berisi beberapa bahan, seperti; bawang daun, bawang, beberapa bumbu masakan instan, gurame mentah, dan lain-lain. Erky rasanya ingin meninju meja mengingat betapa buruknya manajemen restoran yang katanya salah satu yang terbaik di antara restoran-restoran kelas atas yang ada di Bali itu.

Reservasi jauh-jauh hari ternyata tidak terdaftar, tidak ada kompensasi karena waiting list-nya pun sudah dipesan banyak orang. Alhasil, kotak perhiasan yang Erky simpan tetap bergeming di sakunya, padahal, seharusnya, kalung itu sudah melingkar di leher Alta sekarang. Kalau itu salah satu punya ayah, udah aku suruh pecat manajernya.

Gadis di depannya meletakkan tepung bumbu yang tidak pedas ke dalam troli lalu terlihat tersenyum seperti menyimpan rahasia. "Kenapa?" tanya Erky bingung.

"Gak boleh ngegunain wewenang orang tua kamu seenaknya kaya gitu, tadi waktu kita keluar restoran, GM nya udah negur, gak perlu sampe nuntut dipecat. Aku gak apa-apa, kok. Masak buat kamu juga, bukan buat siapa-siapa," ujar Alta, menasehati Erky yang tertegun.

Ia mengikuti tunangannya itu ke bagian sayur, katanya lupa untuk membeli cabai dan tomat, mengamati sambil berjalan di belakangnya, dan mendorong troli dengan hati-hati supaya tidak menabrak. "Kamu esper?"

"Bukan, aku Alta," jawab Alta singkat, lalu tertawa mendengar candaannya sendiri. "Kamu dari tadi mau ngontak ayah kamu, kan, di mobil? Aku liat, jangan lagi, ya? Bukan kebiasaan bagus."

Erky menatap cewek, yang ia pikir moralnya terlalu tinggi, itu memilih tomat dan memasukkan yang bagus ke plastik. "Kalau gitu untuk apa aku punya orangtua kaya yang status sosialnya tinggi?"

Alta tertawa mendengar pernyataan Erky tersebut. "Untuk apa aku punya tunangan kaya kalau aku masih bayar makan siang sendiri?"

Erky terdiam. Tidak lagi mengungkit masalah itu hingga ia duduk di kursi bar dapur, menunggu Alta yang sedang memasak makan malam untuk mereka, sambil masih mengenakan terusan, begitu juga Erky yang masih mengenakan kemeja, lengkap dengan jas. "Itu, kan, kamu yang maksa buat bayar sendiri?"

"Nah, itu," jawab Alta tanpa mengalihkan pandangannya dari wajan, memindahkan gurame yang sudah ditiriskan ke wajan yang dipenuhi dengan saus asam manis.

"Nah, itu, gimana maksudnya?"

"Pribadi kita, sifat yang jadi buruk cuma gara-gara punya kenalan atau punya hubungan sama yang kaya atau punya status."

Erky sekali lagi diam mendengar penuturan Alta, membayangkan dirinya berada di latar yang lain, dimana penuturan tersebut bukan ditujukan untuk Erky, tapi untuk anak mereka. "Jadi pengen liat kamu jadi ibu."

Sunshower ✔Where stories live. Discover now