22. Taksi

59.8K 5.7K 17
                                    

"My deep intuition tells me that I'm doing you wrong if I don't come home. Just say you forgive me and don't let me go."

Genesis - Dua Lipa

***

Alta menenggelamkan wajahnya ke bantal, menghiraukan panggilan di ibunya untuk meminta maaf kepada Evan. Gadis itu menjawab akan meminta maaf di kehidupan selanjutnya.

Tidak ada gunanya juga, jika diteruskan bertemu dengan Evan, Alta mungkin akan melemparkan sesuatu ke wajahnya. Ia merasa tidak tenang sendiri ketika berduaan dengan Evan tadi, jantungnya berpacu cepat seperti sedang lari maraton, salah satu alasan mengapa Alta kabur dari situasi itu.

Ia tidak mengerti, sungguh, kebiasaan Evan untuk menanyakan kabarnya beberapa bulan sekali, kembali ke hidupnya terus-menerus ketika Alta sudah mulai melupakannya. Alta kira setelah satu tahun tidak mendapatkan kabar dari cowok itu, akhirnya Alta, dibantu dengan kehadiran Erky, bisa dibilang moving on; tidak pernah memikirkan Evan, tidak pernah stalking, dan tidak berharap pesan darinya lagi.

Ponsel yang menempel di telinga Alta mendengungkan nada sambung, beberapa kali sebelum suara itu mengucap salam, yang dibalas Alta, lalu hening. Hanya ada dirinya yang menatap langit-langit kamarnya. "Alta?"

"Cuma kamu yang boleh nyebut nama aku kaya gitu."

Erky tidak berkata apa-apa, mungkin merasa ada yang aneh dengan kata-kata Alta. Tentu saja.

Ia memejamkan mata, meletakkan punggung tangannya di atas matanya yang terpejam. "Kamu lagi apa?"

"Lagi beres-beres, mau pulang. Tapi kayaknya bakal maghrib di masjid kantor, takut gak keburu kalau pulang dulu." Lalu dilanjutkan, "Kamu yang lebih butuh cerita kayanya."

"Nanti aja kalau kamu udah nyampe Bandung."

"Alta, soal itu. Kayaknya harus diundur. Lagi ada proyek besar buat tim yang diatasku jadi semuanya tetap ke kantor akhir pekan ini."

Gadis itu menghela nafasnya, tidak berani berkata apapun karena merasa emosinya sedang di puncak. Untuk beberapa saat ia terdiam, mencoba mengatur nafasnya namun sepertinya tidak berhasil. "Gak apa-apa, aku tutup dulu, ya. Dipanggil ibu."

"Alta—" 

Telepon itu ditutup sebelum Erky dapat mengucapkan kata lain, di sisa hari itu, tidak ada yang bisa dilakukan Alta selain merasakan perih di matanya. Sampai beberapa hari kemudian, Alta merasa pikirannya melayang entah kemana. Ia hanya datang ke kampus, menghiraukan Erky yang mencoba menghubunginya hingga belasan missed call setiap harinya, juga pulang ke rumah untuk melihat Evan duduk di motornya di seberang jalan rumah Alta, entah sedang menunggu apa karena, lagi, Alta tidak mau peduli.

Hingga sore di hari Jumat, Alta sedang mengecek ulang laporan keuangan ketika Rio datang menghampirinya. "Spill," ujar Rio tanpa basa-basi.

"Gak apa-apa, cuma capek."

Alta menaikkan pandangannya karena Rio masih duduk di hadapannya tapi tidak mengatakan apa-apa. "Kenapa, Kak?" tanya Alta, lalu menghela nafas, merasa pembicaraan mereka ini akan panjang dan kepala Alta yang sedari tadi sudah terasa berat.

"Kamu jarang tidur, ya?"

"Lagi banyak pikiran, tugas juga. Belakangan ini baru bisa tidur jam tiga atau empat."

Rio terlihat sedikit kaget mendengarnya. "Tiap hari?"

"Iya, Kak," jawabnya sambil mengangguk.

"Udah makan?"

Sunshower ✔Where stories live. Discover now