25. Dewasa

70.8K 5.8K 66
                                    

"I'll smile to hide the truth, but I know I was happier with you."

Happier - Ed Sheeran

***

Alta menatap layar yang menampilkan pesannya yang terakhir ia kirim untuk Erky, hanya dibaca. Ia mencoba memfokuskan pandangannya tapi percuma, semua yang Alta lihat di hadapannya berbayang. Merasa dirinya kacau ketika mendengar apa yang dikatakan ibunya.

Erky sama Evan yang ngater kamu pulang. Dan waktu itu, kayak yang sedih.

Tangannya tidak bisa berhenti gemetar ketika mengulang penuturan ibunya itu seperti musik yang tersangkut di otaknya, rasanya sulit bernafas. Pertanyaan mengapa Erky tidak membalas pesannya, apa yang Erky bicarakan dan pikirkan ketika melihat Evan. Apa Erky tahu tentang perasaannya dulu pada Evan?

Ia kerap ingin menangis; jika itu yang dipikirkan Erky, perasaan Alta untuk Evan sudah mati karena tidak pernah disiram, tidak lagi ia rawat. Tapi dirinya merasa tidak memiliki kesempatan untuk mengutarakannya, merasa karma menertawakan keadaannya kini yang teleponnya kerap tidak dijawab oleh Erky, sama seperti yang ia lakukan beberapa hari lalu.

"Heh, Alta, ngelamun mulu. Udah tau kuliah di kampus angker."

Alta menyunggingkan senyum kecil pada Tari. "Aku gak ngerti."

"Sama," jawab Tari sambil memakan biskuit stik rasa teh hijau kesukaannya, "emang kamu kenapa, sih? Dari sejak masuk kayak yang nyawanya ilang."

"Iya, nyawa aku kemana, ya?" tanya Alta, merasa pertanyaan itu bukan ditujukan pada Tari ataupun dirinya sendiri. Lebih tepatnya untuk orang yang tidak bisa Alta hubungi. Ia menghela nafas, menurut dokter, kesehatannya sudah membaik, namun Alta tidak merasa begitu. Dan meskipun dokter berkata jika ia tidak boleh stres, masalah penyebab stres tidak akan menghilang begitu saja, bukan?

"Oh, iya, aku lupa. Cowok yang nungguin kamu pulang kemarin itu siapa?"

Alta menghela nafasnya lagi, mungkin sudah ke sepuluh kalinya hari itu, kepalanya sudah penuh oleh Erky, dan Evan, dengan sikapnya yang seperti itu, malah memaksakan tempat di pikiran Alta. "Orang gila."

"Masa? Lucu tau orangnya, nerdy nerdy tapi cool gitu. Gak mungkin, lah, orang gila!" Tari menyanggah pendapat Alta.

Alta menyibakkan rambut yang hampir menutupi wajahnya sambil berdiri. "Aku pulang duluan."

"Oke, hati-hati," ujar Tari, terlihat melambaikan tangannya ketika Alta berjalan menjauh. Matahari masih jauh di atas kepala saat itu, membuat perasaan Alta kian memburuk. Ia tidak suka cuaca panas.

Setelah kepayahan untuk mencapai gerbang depan, yang Alta sendiri tidak mengerti ia lelah karena apa, Alta terhenti ketika menatap sepasang mata yang lebih dulu menatapnya. Kaus lengan panjang berwarna abu dan celana jeans hitam, Evan membawa mobil hari ini, biasanya jika membawa motor, ia akan mengenakan jaket kemanapun meski sudah turun dari motor, aneh. "Cewek gak suka kalau dipaksa, Evan," ujar Alta yang yang berhenti beberapa meter jauhnya.

"Aku sebisa mungkin gak akan maksa," jawabnya, tersenyum, mungkin karena akhirnya Alta mau bicara dengannya setelah beberapa hari membisu. Tapi, sepertinya Evan salah sangka, Alta hanya tidak ingin membuang tenaganya, namun jika ia tidak, setidaknya menyuruh Evan pergi, orang itu tidak akan pergi.

"Kalau gitu gak usah dateng ke kampus," Alta menanggapi dengan datar.

"Jadi, kalau gak boleh ke kampus kamu, boleh pergi nanti hari minggu?"

"Boleh."

Mendengar itu, wajah Evan langsung berubah cerah, seperti matahari pagi. Sayangnya, menyakiti mata Alta. "Beneran?"

Sunshower ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang