[5] Her Fear

29K 2.6K 91
                                    

SABTU malam. Atau banyak orang menyebutnya Malam Minggu. Thalia mendapati Fahri sudah berpakaian rapi dan tengah mematut diri di depan cermin kamarnya. Karena pintunya yang terbuka, Thalia mudah masuk hingga kini berdiri di belakang pamannya itu.

“Om mau ke mana? Rapi banget.”

Fahri membetulkan kancing kemeja jeans yang hanya berlengan sampai di bawah siku. Berpadu celana jeans dengan warna lebih gelap membuat penampilan Fahri layaknya anak muda masa kini. Senyum menawannya mengembang seraya menatap Thalia dari cermin.

“Kencan, dong.”

“Hah?!” Thalia melotot. “Kencan? Sama siapa? Jangan bilang sama degeman Om di sekolah?! Nggak, nggak! Lia nggak ijinin Om keluar rumah kalau gitu!”

Fahri berbalik hanya untuk menyuguhkan ekspresi jengahnya pada Thalia. “Kamu ini suudzon terus sama Om. Ya enggak lah! Om kencannya sama yang udah berkarir dong.”

Mata Thalia menyipit. “Kalau gitu siapa? Kok Om nggak pernah cerita ke Lia bahkan ke saudara kalau Om udah punya gebetan?”

“Ya 'kan masih masa pendekatan. Om nggak mau pamer-pamerin dulu. Nanti kalau ujungnya nggak jadi, gimana?”

“Berarti Om cuma main-main sama cewek itu, 'kan?!”

“Thalia,” tegur Fahri disertai usapan gemas di kepala keponakannya, “yang namanya masih masa pendekatan itu butuh proses untuk mencari tau level kecocokan kita sampai mana. Bukan berarti main-main. Istilahnya mah ta'aruf. Kenalan dulu baru berkasih sayang.” Decakan disertai kibasan tangan menutup penjelasan Fahri sebelum berkata lagi, “Kamu mah belum ngerti hal begituan. Masih kecil.”

“Enak aja! Lia ngerti kok! Lia 'kan udah 19 tahun, Om!” sewot Thalia.

Fahri terkekeh pelan seraya mengacak-acak rambut keponakannya itu. “Baperan nih yee.”

“Ish! Udah gih, sana berangkat! Nanti kalau beneran udah cocok, bawa ke rumah ya. Kenalin ke Lia.”

“Pastinya dong!” Fahri mengacungkan jempolnya. “Om pergi dulu, ya! Oh iya, kalau mau makan, bikin aja apa yang kamu bisa. Ada banyak bahan makanan di dapur.”

Thalia mengangguk seraya mengikuti pamannya menuju garasi. Mengamati bagaimana pamannya itu bersemangat di balik kemudi, melajukan mobilnya keluar dari pekarangan rumah dengan mulusnya yang tentunya diiringi lambaian tangan dari Thalia.

“Udah kayak anak muda kepincut cinta aja,” gumam Thalia geli.

Fahri termasuk pribadi yang terlalu sulit membuka hati. Tetapi sekalinya menemukan tambatan, malah tidak mau berbagi kebahagiaannya dengan alasan belum masanya. Tapi dilihat dari antusiasmenya barusan, Thalia berharap wanita pilihan Fahri itu memanglah tepat. Dengan begitu Fahri bisa segera mengenalkannya pada Thalia termasuk keluarga.

Barulah Thalia kembali masuk mengunci pintu. Langkahnya begitu ringan hingga akhirnya bertemu dengan Atha di ruang tengah. Penampilannya yang segar dengan handuk menyelampir di bahu lebarnya karena baru selesai mandi, dengan aroma yang entah mengapa menyebar, menjawil hidung Thalia untuk menghirupnya dan membuat gadis itu mulai salah tingkah.

“Om Fahri baru aja pergi,” ucap Thalia agak tersendat.

“Oh,” hanya itu yang keluar dari mulut Atha. Lelaki itu dengan cueknya masuk ke kamar meninggalkan Thalia yang sudah menarik napas dalam.

Sejak kejadian kemarin, kecanggungan terasa di diri Thalia. Melihat lelaki itu sepertinya enggan berhadapan dengannya, sudah cukup membuat rasa bersalah itu sedikit mengisi benak Thalia. Ia juga menganggap dirinya sudah berlebihan sampai mengira Atha seperti masa lalunya.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now