[6] His Kindness

29.2K 2.5K 74
                                    

ATHA menuntun Thalia masuk ke dalam rumah. Hanya menutup pintunya, Atha lebih memilih membawa Thalia ke ruang tengah. Gadis itu duduk di sofa dengan jaket hijau lumut milik Atha membungkus tubuhnya yang masih menggigil.

“Gue ambil minum dulu buat lo.” Atha berkata pelan. Tubuhnya yang membungkuk bisa melihat jelas bekas air mata di pipi pucat Thalia. Ia perlahan melepas genggamannya dari tangan Thalia sebelum pergi ke dapur.

Hanya hitungan detik, Atha sudah kembali ke ruang tengah dengan segelas teh hangat di tangannya. Meletakkannya di meja tepat di depan Thalia.

“Minum dulu. Biar lo tenang.” Atha menitah. Dia mengamati bagaimana gadis itu meraih gelas tersebut dengan kedua tangannya yang masih gemetaran. Tidak bisa Atha biarkan hingga ia membantu Thalia untuk meminumnya perlahan-lahan.

Meletakkan gelasnya kembali, Atha pergi ke dalam lagi, mencari kotak obat yang seingatnya masih menyimpan tisu basah. Begitu menemukannya ia kembali ke dekat Thalia, mengambil satu lembarnya kemudian menyeka telapak tangan Thalia yang kotor. Sesekali Atha melirik keadaan Thalia yang sedari tadi tidak bersuara. Mata gadis itu terus menyorot ke bawah dengan pandangan kosong.

"Lo belum makan, 'kan? Mau makan apa? Biar gue buatin," tawar Atha di sela-sela. "Gue bikinin sop bakso, ya. Bikinnya juga nggak lama."

Atha tahu bahwa Thalia tidak akan menjawab. Itulah mengapa selesai menyeka tangan Thalia, Atha segera kembali ke dapur dan membuka kulkas, mengambil beberapa bahan makanan yang ingin dimasaknya.

Atha memang tidak ada niatan untuk mengungkit kembali kejadian tadi dengan Thalia. Terlebih dengan kondisi Thalia yang sudah sulit diajak bicara.

Bayangan di mana Thalia yang terus menangis hingga dia sendiri kesulitan menenangkannya di sepanjang jalan pulang, menjadi beban pikiran Atha hingga detik ini. Ada yang tidak beres dengan ketakutan yang dialami Thalia. Seperti kejadian tadi merupakan teror tak berujung hingga gadis itu tidak mampu menemukan ketenangannya lagi.

Untungnya ada Gilang yang membawa mobil mau mengantar mereka berdua dan membiarkan motornya juga sepeda Thalia diurus oleh yang lain. Meski temannya itu terus saja mengoceh penasaran karena terlambat datang ke lokasi hingga membuat Atha nyaris membentak, Atha bersyukur akal sehatnya masih bermain.

Mungkinkah Thalia juga pernah mengalami hal seperti tadi? Atau justru lebih dari yang tadi?

Atha sudah menuang sebagian sup buatannya di mangkuk. Tidak sampai 15 menit memang, apalagi Atha sudah terlalu mahir memasak, sup merupakan perkara mudah baginya. Dia segera meletakkan mangkuk beserta sendok juga segelas air putih dalam nampan. Lalu membawanya ke ruang tengah.

Tetapi Atha mendapati Thalia sudah jatuh tertidur di sofa. Dengan kaki masih menapak lantai, meringkuk dalam balutan jaket hijau lumutnya. Atha hanya mendesah panjang seraya meletakkan bawaannya di atas meja. Lalu berlutut di depan Thalia berniat membangunkan gadis itu.

Tangannya baru memegang lengan Thalia, sudah cukup merasakan bagaimana gadis itu bernapas cepat dalam lelapnya. Apalagi kerutan di balik poninya yang berantakan semakin menunjukkan gadis itu bahkan belum menemukan kenyamanan. Atha menjadi tidak tega melihatnya.

Atha akhirnya mengeluarkan ponselnya dan membuka nomor kontak Fahri. Meski pria itu baru satu jam pergi, bagaimana pun paman dari gadis itu harus tahu.

****

Fahri keluar dari kamar Thalia setelah memastikan keponakannya itu tidur dengan tenang. Napasnya memberat mengingat kembali kondisi Thalia yang sungguh tidak baik sejak mendapatinya terlelap di sofa ruang tengah tadi. Begitu mendapat kabar mengejutkan dari Atha melalui telepon, Fahri terpaksa menyelesaikan kencannya dan buru-buru pulang.

S P L E N D I DWhere stories live. Discover now