[54] Lost

15.6K 1.4K 158
                                    

“The more you care, the more you have to lose.”

PADA kenyataannya, sebuah rasa memang mampu mengubah sifat seseorang bahkan berbanding terbalik dari kepribadiannya. Itu sudah dibuktikan oleh banyak orang.

Dan, seakan sudah menjadi hukum semesta bahwa manusia memang harus merasakan bagaimana terbang tinggi lalu jatuh teramat keras hingga sekujur tubuh kebas. Titik di mana menjelaskan kata sakit pun tidak lagi sesuai lantaran sudah terlalu melebihi.

Karenanya, mereka mencoba untuk mengerti akan keterdiaman Atha. Sejak datang kemari, yang dilakukan lelaki itu hanyalah duduk di sofa, melamun tanpa henti seakan dirinya hanyalah seonggok tubuh tanpa nyawa.

Suasana studio musik ini menjadi suram rasanya. Kendatipun Vernan mencoba memainkan lagu ceria dengan gitar akustiknya, mengiringi Justin yang bernyanyi-nyanyi asal, juga Satria yang ikut memainkan Cajon, tidak pula berhasil menyurutkan atmosfer yang Atha kuarkan dari sudut ruangan ini.

Pintu tiba-tiba terbuka. Menampakkan Gilang bersama Mika dan Deka berbondong membawa banyak bingkisan memenuhi tangan mereka. Cara terakhir untuk membangkitkan semangat. Lalu seketika ketiganya melompat berdiri menyambut penuh antusias.

“Weits! Mantap lah ini! Pesta-pesta kita, lah!!” Vernan berseru girang. Tak terkecuali Justin dan Satria. Bahkan Satria segera menarik meja pendek ke tengah ruang untuk kemudian menumpahkan sebagian jajanan di sana.

“Woy! Ini siapa yang nyebat?!” Justin berseru heboh menemukan sebungkus rokok di antaranya. Tidak disangka, Gilang akan merebut cepat benda tersebut untuk kemudian dilemparkan ke Atha.

“Pesenan lo tuh.”

Ucapan enteng Gilang justru menciptakan hening. Mereka kompak tercengang lantaran melihat Atha akhirnya bergerak demi mengambil sebungkus rokok tersebut.

“Sejak kapan lo punya hobi nyebat?” Satria bertanya skeptis. Mewakili teman-temannya.

“Hobi baru nemu kemarin.” Gilang bersuara lagi. Mewakili Atha. “Udahlah, biarin aja. Daripada bengong mulu terus kesurupan jin ngamuk-ngamuk malah repot kitanya.”

“Eh, bukan itu masalahnya. Ini di sekolah. Kalo ketahuan dia nyimpen gituan bisa langsung kena tilang!”

Baru saja Satria bicara demikian, atensi mereka kembali dikejutkan oleh Atha yang berdiri mendekat. Sambil menyelipkan satu gulungan tembakau tersebut di antara jemari, lelaki itu akhirnya menunjukkan suaranya hanya untuk bertanya, “Koreknya mana?”

“Eh, iya, gue lupa sekalian beli.” Gilang memamerkan cengiran sok polosnya. Di mana selanjutnya Atha hanya berdecak malas sebelum melewati mereka.

“Heh, mau ke mana?!”

“Nyari korek.”

Justin lebih dulu mencekal bahu Atha sebelum berhasil membuka pintu. “Nggak pake pamer bawa gituan juga, kali. Lo mau kena semprot guru piket di depan?”

Atha melepas segera tangan Justin. Hanya memberi tatapan tajam namun penuh sirat hampa, ia berhasil keluar dari sana, tanpa ada yang berniat mengejar. Meninggalkan hening yang semakin menyurutkan antusias mereka untuk berpesta.

“Dia nggak pernah kayak gini,” gumam Deka setelah cukup lama berdiam. “Gue nggak pernah tau dia sampe berani begitu kalo udah kena mental breakdown.”

“Gue rasa dia terpukul nggak cuma karena Pak Fahri ngusir dia dari rumah.” Mika mendengkus samar sembari mengambil sekaleng minuman jus.

“Kita juga tau itu, 'kan? Siapa yang udah bikin Atha sebegini terpukulnya sampe nekat begitu.” Satria mendesah prihatin. Mengikuti jejak Mika tanpa semangat.

S P L E N D I DNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ